a

Pelajaran dari ‘Teman Ahok’

Pelajaran dari ‘Teman Ahok’

Oleh Joice Triatman*

TEMAN Ahok bukan sembarang teman. Ia telah memberikan pelajaran penting dan berharga pada kita semua, partai politik khususnya.

Alih-alih mencibir apa yang dilakukan oleh para relawan itu, sebaiknya kita memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada mereka. Sebab apa yang dilakukan oleh Teman Ahok adalah salah satu cita-cita politik modern: keterlibatan aktif para warga. Ia adalah manifestasi dari apa yang disebut dengan demokrasi deliberatif, yakni demokrasi yang tengah berkembang di tanah air kita khususnya.

Barang apakah demokrasi deliberatif ini? Bahasa mudah dari frasa tersebut adalah adanya partisipasi warga dalam kehidupan bernegara. Saat sekumpulan orang kongkow di warung kopi, saat itulah deliberasi terjadi. Ketika sebagian warga peduli pada nasib kotanya, mereka tengah berdeliberasi. Ketika Teman Ahok berinisiatif mendukung dan menggunakan instrumen politik bernama jalur independen agar bisa mengusung Ahok menjadi calon gubernur kembali, mereka sedang berdeliberasi. Dan inilah masa yang tengah berlaku dalam kehidupan politik Indonesia.

Jika kita amati secara seksama, praktik politik ini dipicu sejak munculnya kepala-kepala daerah bernas di beberapa provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Berkelindan dengan kemunculan media sosial yang viral, ia menjadi tren di beberapa kota besar. Salah satu momentum besar dari praktik ini adalah saat Pilpres 2014 yang lalu yang ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok relawan.

Inilah – meminjam istilah Bung Karno – gerak jaman yang tidak bisa kita tolak. Sebab siapa yang menolak, ia akan dilumat habis olehnya.

Oleh karena itu, bagi partai politik, momentum pilkada DKI 2017 mendatang adalah pelajaran berharga. Daripada menyumpahserapahinya, lebih baik kita menyambut era partisipasi warga ini. Daripada mencurigainya sebagai aksi atau fenomena deparpolisasi, lebih baik kita jadikan itu sebagai momentum otokritik untuk memperbaiki diri. Kita harus berani jujur bahwa partai hari ini tengah berada di titik nadir. Adalah tugas parpol hari ini untuk bertransformasi diri menjadi lebih baik, lebih modern, dan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, sebagai langkah untuk menyikapinya.

Sebab Jakarta saat ini seolah tengah menjelma menjadi polis (kota) masa Yunani dulu, di mana di dalamnya memang berisi manusia-manusia yang berkesadaran. Monumen-menomen yang ada di dalamnya adalah peradaban-peradaban maju dan mengajak kita semua untuk maju. Teman Ahok dan deliberasi yang tengah terjadi sekarang ini adalah manifestasi dari peradaban yang maju itu.

Dan akan datang saatnya di mana kota-kota lain juga menjadi ‘jakarta’. Era teknologi informasi saat ini akan mempercepat keniscayaan itu.

Oleh karena itu tak patut bagi NasDem untuk menolaknya. NasDem harus dan telah menyambutnya dengan segala kesadaran dan kebesaran hati. Itulah mengapa NasDem mempersilakan Ahok untuk memilih jalan pencalonannya sendiri. NasDem bahkan mempersilakan mantan Bupati Belitung Timur itu untuk memilih calon wakilnya. Tidak berhenti di situ, NasDem bahkan ikut membantu Teman Ahok mengumpulkan KTP warga DKI demi terpenuhinya target 1 juta KTP.

Mungkin ada kesangsian atau cibiran kepada NasDem. Entah karena ia fraksi kecil di DPRD DKI sehingga tidak bisa mengusung sendiri; atau NasDem dipandang tengah nimbrung popularitas Ahok; atau faktor lainnya.

NasDem tentu tak bisa melarang semua itu. NasDem hanya mampu mencoba membuktikan komitmen yang dipegangnya selama ini, yakni perubahan, dengan mengambil pelajaran dari Teman Ahok.

Itulah mengapa NasDem, sebagai partai politik, mencoba berendah hati untuk menerima teks politik tersebut. Satu komitmen yang dipegang oleh NasDem adalah hasrat yang sama: mendukung orang terbaik demi majunya sebuah peradaban.

*Direktur Media Center Fraksi Partai NasDem DPR RI.

Add Comment