a

Melahirkan Kembali Pancasila

Melahirkan Kembali Pancasila

Martin Manurung

Ketua DPP Partai NasDem
Ketua Umum Garda Pemuda NasDem

HARI ini, 1 Juni 2016, bangsa Indonesia patut bergembira. Untuk pertama kalinya, hari kelahiran Pancasila resmi ditetapkan sebagai Hari Pancasila oleh Presiden Joko Widodo.

Seperti sebuah perayaan kegembiraan, kita juga patut untuk terus mengingat makna Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mengingat makna itu penting, sebab tanpa makna maka kita seakan merayakan abunya Pancasila, sementara apinya Pancasila entah tercecer di mana dan lantas padam begitu saja.

Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang menggali dan melahirkan Pancasila itu penuh api semangat dan mimpi Indonesia yang jauh melampaui zamannya. Pidato itu tidak langsung berisi daftar lima sila atau bahkan daftar panjang “butir-butir pengamalan Pancasila” seperti yang pernah jamak di masa 32 tahun Orde Baru. Pidato itu berisi tentang mimpi akan sosok negara Indonesia; negara besar yang tumbuh, berkembang dan dewasa dalam semangat kegotong-royongan.

”Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong‐royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong‐royong!” kata Soekarno dengan semangat yang meledak meletup dalam Pidato 1 Juni 1945.

Gotong royong, kata Soekarno, adalah intisari, atau kelima sila Pancasila yang diperas menjadi satu. Gotong royong, kata Soekarno adalah Eka Sila. Karena itu, tanpa ragu pula, Soekarno mengatakan bahwa Negara Pancasila adalah Negara Gotong Royong.

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong,” kata Soekarno.

Gotong royong sebagai perkataan Indonesia yang tulen menunjukkan sejatinya jati diri Indonesia. Dalam Indonesia terkandung semangat semua untuk satu dan satu untuk semua. Semangat kolektivisme (kekitaan) yang menjadi jati diri kita sebagai bangsa.

“… kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, ‐ semua buat semua,” kata Soekarno.

Dalam semangat kekitaan itulah kita menemukan api Pancasila dan menjadi dasar untuk mengerti apa makna Pidato 1 Juni 1945 itu. Dalam semangat kekitaan itulah pula kita mengerti apa yang disebut Soekarno sebagai Tri Sila: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan.

Kebangsaan (Nasionalisme) yang kita bangun bukan sekadar semangat mengagung-agungkan bangsa Indonesia sendiri, tetapi Kebangsaan yang tumbuh dalam pergaulan antar-bangsa. Amat tepat bila Soekarno juga mengatakan nasionalisme yang tumbuh subur dalam taman sarinya internasionalisme.

Demokrasi yang kita bangun bukan sekadar kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, tetapi demokrasi yang juga mendengar dan memberi tempat pada seluruh anak bangsa. Tak boleh satu pun suara anak bangsa, betapapun kecilnya, diabaikan. Demokrasi yang mendengar, bermusyawarah dan bermufakat, artinya bukan demokrasi yang sekadar menang-menangan atau menang-kalah.

Ketuhanan yang kita bangun dalam semangat kekitaan adalah Ketuhanan yang mampu untuk hidup bersama sebagai satu keluarga besar bangsa Indonesia. Ketuhanan dalam semangat kekitaan bukanlah Ketuhanan yang menghakimi, menunjuk-nunjuk, menuding dan menyisihkan mereka yang berbeda.

“Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini –sesuai dengan itu—menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain,” kata Soekarno lagi dalam pidato itu.

Melahirkan kembali Pancasila adalah menemukan kembali apinya pidato 1 Juni 1945 itu. Saya mengajak seluruh anak bangsa Indonesia, khususnya kaum muda, menemukan lagi (merestorasi) apinya Pancasila seraya terus membangun mimpi Indonesia 1945 itu. Restorasi apinya Pancasila! Jangan biarkan apinya Pancasila tertinggal menjadi abu dalam ritus perayaan semata.*

 

 

Add Comment