a

Sujud dan Kekuasaan

Sujud dan Kekuasaan

SETELAH menggenapi rukun sesuai aturan, tidak ada manusia yang mampu menembus dimensi lain, untuk mengukur apakah shalat seseorang diterima atau tidak oleh Ilahi. Manusia diberikan keterbatasan untuk menembus ketiadaan batas dalam ruang kehidupan. Walau demikian, Islam telah memberikan kunci, bahwa salah satu ciri bahwa shalat seseorang telah mencapai tingkatan tertinggi, ianya pelaku shalat telah tercegah dari segala perbuatan mungkar.

Sujud – dalam shalat — adalah wujud pengakuan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah, penuh tipu daya dan tidak punya kuasa apapun atas dirinya sendiri. Ia adalah ciptaan yang tiada akan punya pengaruh apapun di mata Tuhan, andaikan ia alim dan menuntut surga, maka Allah punya hak untuk menolak tuntutan itu. Hanya karena kasih sayang Allah semata, seseorang itu bisa diberikan ganjaran yang baik. Allah adalah yang Maha Adil, sehingga mustahil berbuat zalim.

Dalam berbagai majelis ilmu yang pernah saya hadiri, banyak para pendakwah dan guru bercerita tentang hakikat shalat (sujud). Bahwa salah satu ciri bahwa seseorang telah benar-benar memahami dan tenggelam dalam shalat yang berkualitas, ialah ia yang telah mampu –dengan usaha keras—menjauhkan diri dari berbagai perbuatan buruk yang mengundang murka Ilahi.

Banyak manusia yang mampu berdiri untuk shalat fardhu, namun setelah ucapan salam ia kembali ke perbuatan jahat. Menipu orang lain, korupsi, bermufakat dalam hal rencana jahat, memelihara megalomania, dan lain sebagainya. Sehingga ia kehilangan identitas diri sebagai orang yang telah mendirikan shalat.

Sujud adalah restorasi. Karena dalam sujud ada pengakuan tentang kelemahan diri dan keesaan Ilahi. Harapannya, setelah seseorang menghambakan dirinya di depan Allah, ia akan kembali menemukan spirit hidup yang baru ke arah yang kebih baik.

Manusia adalah khalifah di muka bumi. Secara harfiah, khalifah bermakna perwakilan -–Mewakili Tuhan—- untuk mengatur kehidupan di bumi. Agar bumi tertata dengan baik, maka dibutuhkan seseorang yang mengetahui hakikat sujud. Dalam bahasa kasarnya, untuk melahirkan sebuah negeri yang bertamaddun, dibutuhkan pemimpin yang mengenal dirinya dan mengenal dengan baik Khaliq, yang telah menciptakan ia dan segenap isi dunia.

Sebagai seorang pimpinan partai politik, saya seringkali ditanya tentang siapa yang akan kami jagokan di pilkada 2017 mendatang. Bahkan tidak sedikit yang mengecam tindakan saya yang terlihat “melambat” dalam menentukan sikap. Juga ada klaim bahwa ada keinginan pribadi saya untuk maju, sehingga membiarkan orang lain terus bertanya-tanya tentang siapa yang akan partai kami dukung.

Bagi saya dan tentunya Nasdem dengan semangat restorasinya, kekuasaan adalah alat, bukan sebuah tujuan. Impian terbesar kami adalah melahirkan tatanan kehidupan, khususnya di Aceh, dengan masyarakat yang tertib, cerdas, makmur dan bertaqwa. Itu mimpi kami dan searah dengan restorasi Indonesia.

Untuk itu, dalam memberikan dukungan kepada kandidat, bagi kami banyak hal yang harus dipertimbangkan. Bukan hanya berpaku pada elektabilitas, tetapi juga pada kualitas sang calon yang kelak kami dukung. Secara pribadi, saya punya komitmen, bilapun saya tidak mampu membawa Aceh ke arah yang lebih maju, minimal Aceh tidak hancur di tangan kami –dilakukan oleh orang yang kami dukung– karena penderitaan terbesar bukan pada gagal menggapai kekuasaan, tapi ketika melihat tangisan di tiap pelosok negeri, yang keluar dari mata rakyat yang putus asa. [] Sumber:acehtrend.co

Add Comment