Hamdhani: Ekosistem Kawasan Konservasi Harus Terjaga
JAKARTA (2 September): Anggota Komisi IV DPR Hamdhani mengatakan kawasan-kawasan konservasi harus dijaga tentang plasma noktah dan ekosistemnya. Founder-founder asing yang mengelola daerah-daerah konservasi itu harus membagi pendapatan dari hasil turis atau nilai ekonomisnya kepada pemerintah daerah.
Hal tersebut disampaikan Legislator NasDem itu di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ketum Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Ketum Indonesia Center For Environmental Law, dan Ketum Wildlife Concervation Society dan Ketum PILI Green Network di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (01/09).
Politisi asal Kalimantan Tengah (Kalteng) itu merasa belum jelas tentang bagaimana masalah pembagiannya, karena ada pernyataan bahwa pemda tidak mendapatkan pembagian. Padahal seperti dalam kawasan konservasi orang hutan di Tanjung Puting Kalteng yang memiliki lahan luas dan setiap hari turis berdatangan, tetapi pembagian untuk pemda sampai saat ini belum ada.
“Kita juga menginginkan agar perlu ada penetapan kawasan seperti hutan burung, yang didalamnya terdapat banyak sekali plasma noktah dan ekosistem, termasuk satwa langka agar tidak diganggu oleh tangan-tangan jahil. Kalau penetapan yang jelas, maka akan ada sanksi hukum yang bisa diterapkan kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” tegasnya.
Lebih jauh Hamdhani juga meminta agar masyarakat sekitar kawasan konservasi diberikan kesempatan untuk dapat masuk ke dalam kawasan konservasi untuk mengambil hasil dan manfaat seperti getah kayu atau pemanfaatan-pemanfaatan limbah lainnya. Semata-mata agar mereka tetap mempunyai pekerjaan.
“Kalau mereka dilarang masuk kawasan bahkan dikenakan pungutan oleh pengelola konservasi, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Asalkan satwa langka atau hasil hutan lain seperti kayu dan lain sebagainya tidak diganggu. Tetapi hanya mengambil nilai ekonomis seperti getah kayu atau ikan,” tandas Hamdhani, seperti dilansir dari dpr.go.id.
Dipaparkannya juga, hal ini juga perlu disempurnakan, jangan sampai masyarakat yang sudah lama berdomisili di wilayah itu tergerus oleh pengelolaan kawasan, karena tidak diberi peran dalam memanfaatkan hasil-hasil yang ada.
Pentingnya UU no. 5/1990 ini untuk direvisi, menurut Hamdani karena telah banyak kawasan konservasi yang berubah fungsi, dari hutan konservasi berstatus hutan lindung tetapi ada korporasi atau masyarakat yang merusak lahan tersebut untuk kepentingan sendiri.
“Selain masalah itu, harus ada pula pengakuan ratifikasi yang bersifat faktual dari negara-nagara lain yang berkaitan dengan pelarangan satwa langka. Indonesia harus ikut menjaga satwa langka agar tidak lolos ke luar negeri,” tegasnya.(*)