Isu SARA Permainan Elite Politik

JAKARTA (15 September): Isu SARA yang kerap dipakai untuk menyerang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah permainan elite politik karena mereka tidak punya modal sosial dan politik untuk meyakinkan publik bahwa calon yang mereka usung punya kemampuan untuk menandingi petahana.

Demikian pendapat yang berkembang dalam diskusi “Tolak SARA dalam Pilkada” di Kedai Deli, Jl Sunda, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/9).

Berbicara dalam diskusi tersebut, Ray Rangkuti (pengamat politik dan pendiri LSM Lingkar Madani Indonesia), Sebastian Salang (Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia-Formappi), Dr Rumadi (Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama-Lakpesdam NU), Dr Iryanto Djou (Aspirasi Indonesia), dan Masykurudin Hafidz (Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat-JPPR).

Karena hanya permainan elite politik, SARA disebut Ray Rangkuti sebagai “demokrasi” kelas paling bawah. Menurut dia, SARA selama ini dimanfaatkan para elite politik untuk menungganggi demokrasi.

“Memilih pemimpin yang seagama atau sesuku boleh-boleh saja, dan ini seolah-olah tidak salah. Tapi jika isu itu dipakai untuk kampanye jangan memilih pemimpin yang tidak seagama, jelas salah. Jika SARA yang terus diusung, lalu apa gunanya demokrasi, padahal demokrasi adalah cara atau alat untuk memilih pemimpin dengan latar belakang yang berbeda,” ujar Rangkuti.

Ia mengimbau agar para elite politik jangan merasuki para pemilih, khususnya warga Jakarta dengan SARA. “Kalau dalam memilih pemimpin dasar pijakannya adalah agama, lantas demokrasi ini untuk apa?” tegasnya.

Rumadi minta agar para elite politik jangan memanipulasi agama untuk menjatuhkan lawan politiknya. “Jangan politisasi agama. Agama jangan dipakai untuk menjatuhkan orang lain. Kita  tolak SARA. Jangan gunakan masjid untuk berkampanye yang tujuannya menjatuhkan calon pemimpin,” katanya.

Jika mau berkompetisi secara fair, kata Rumadi, “tunjukkan dan dukunglah calon Anda, apa kelebihannya. Jangan menunjuk-menunjuk kekurangan orang lain hanya karena tidak seagama.”

Dia berharap dalam pilkada Februari 2017, Ahok yang menang, sehingga Jakarta bisa dijadikan sebagai laboratorium politik bahwa masyarakat Indonesia benar-benar sudah dewasa dan tidak terpengaruh dengan permainan elite politik yang menyalahgunakan agama (SARA) untuk kepentingannya sendiri.

Sebastian Salang menegaskan, SARA dijadikan alat politik oleh para elite politik lantaran mereka tidak punya modal sosial dan politik untuk meyakinkan publik bahwa calon yang mereka usung sebagai sosok yang terbaik.

Sebastian yakin, masyarakat Jakarta telah dewasa dan dalam pilkada mendatang, yang mereka pilih adalah pemimpin daerah, bukan pemimpin agama. “Pilihan warga Jakarta tampaknya tidak akan bergeser, terbukti berdasarkan hasil survai, elektabilitas Ahok tetap tinggi,” katanya.

Menurut Sebastian, SARA hanya permainan sesaat ketika para elite politik sudah tidak punya modal untuk berkompetisi secara sehat. “Setelah pilkada, isu SARA dengan sendirinya akan selesai. Apa mau dikata, elite politik kita memang belum matang.”

Iryanto Djoi mengingatkan isu SARA dalam pilkada bisa merusak demokrasi. “Kalau Jakarta gagal, maka ini akan membahayakan bagi demokrasi kita, karena racun SARA Jakarta akan menyebar ke berbagai daerah. Oleh sebab itu kita harus tolak politik SARA yang dimainkan elite politik berkelas rendah,” ujarnya.

Masykurudin Hafidz mengatakan Islam menganut keadilan yang sangat hakiki. Ukurannya, menurut dia, adalah kebijakan yang dikeluarkan pemimpin (gubernur Jakarta), bukan apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim. “Warga Jakarta sekarang ini sudah terbuka, sehingga isu SARA tidak akan efektif,” katanya.[]

Add Comment