Hollywood Berdusta Tentang Rusia?
Catatan: Akbar Faisal
Sebenarnya November hingga Januari bukan waktu yang tepat untuk berkunjung ke Rusia. Informasi cuaca menyebut suhu minus antara 4-7 derajat. Benar adanya. Mendarat di bandara Domodedovo, Moskwa, salju menutupi bandara. Puluhan pesawat termasuk satu Antonov, pesawat raksasa produksi Rusia terlihat seperti onggokan bangkai pesawat berselimut salju.
Namun saya agak kecewa sebab membayangkan bandara ini, satu dari tiga bandara di kota Moskwa, seperti film-film produksi Hollywood. Agen rahasia ada dimana-mana dengan wajah curiga atau lambang-lambang komunisme. Hanya ada patung Lenin dan Yuri Gagarin yang membeku di pinggir jalan. Yang tersisa hanya perempuan petugas imigrasi yang mengecek passpor saya secara berlebihan dan menghabiskan banyak waktu. Wajah kaku tanpa senyum ini selanjutnya saya temukan pada hampir semua tempat selama seminggu di Rusia. Tak ada keramahan seperti halnya wajah beku Lenin yang dibalsem terbaring di sebuah ruangan kecil di Lapangan Merah. Ini memang kunjungan saya yang pertama ke sini.
Namun Rusia adalah sebuah negara maju. Gambaran film-film Hollywood tentang Rusia berbanding terbalik. Mobil-mobil mewah berseliweran di jalan-jalan kota Moskwa yang macet sepanjang hari.
Pertumbuhan masyarakat kelas menengah Rusia salah satu yang tertinggi di dunia meski tahun ini pertumbuhan ekonominya minus. Bandingkan dengan kita yang masih di atas 5 persen. Sistem transportasi publik jauh dari kata tertinggal. Kereta bawah tanah Metro bahkan salah satu yang terbaik di dunia dan dirancang untuk melayani kota berpenduduk 10 juta ini hingga ratusan tahun ke depan.
Saat pertemuan dengan Dubes kita di Rusia, Muhammad Wahid Supriadi dan masyarakat Indonesia di Moskwa saya mendapat banyak informasi terkini tentang negara yang kini dipimpin secara otoriter oleh Vladimir Putin namun disukai oleh rakyatnya.
Kepada mereka saya jelaskan kondisi terkini perpolitikan Indonesia dan secara khusus mengelaborasi perkembangan terkini RUU Kewarganegaraan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019 DPR serta berbagai kebijakan pemerintah lainnya. Mulai dari kebijakan bebas visa kepada 169 negara, diaspora hingga ke kasus Ahok.
Persoalan kewarganegaraan ini sangat mereka tunggu sebab kita punya sejarah kelam saat beberapa orang Indonesia bermasalah dan atau tak bisa kembali ke Indonesia saat peristiwa G30S PKI terjadi. Seorang profesor yang telah memilih menjadi warga negara Rusia namun asli orang Trenggalek dan hadir saat pertemuan kami di KBRI itu menghabiskan waktu selama 30 tahun stateless sebagai dampak dari peristiwa itu. Dan kasus Archandra Tahar yang kini menjadi wakil menteri ESDM menjadi sorotan mereka. Sejujurnya saya kewalahan menjawab pertanyaan mereka soal ini.
WNI di Rusia tak banyak, hanya sekitar 700-an orang sesuai catatan KBRI. Lebih dari setengahnya adalah mahasiswa —termasuk 150 mahasiswa yang dikirim Pemda Kaltim khusus untuk belajar tentang perkeretaapian— serta puluhan pekerja jasa Spa yang berkembang di beberapa kota besar Rusia.
Kaltim memang sedang membangun kereta api kerjasama dengan Rusia. Saya membayangkan Pemda Sulsel juga melakukan hal yang sama karena kita juga membangun kereta Makassar – Parepare.
Dalam hal kereta, Rusia sangat maju. Beberapa universitas terkemuka memiliki fakultas atau jurusan yang khusus tentang perkeretaapian. Moscow State university of Railway Engineering, Saint Petersburg Railroda University, Rostov State Transport University, dan Samara State University of Transport.
Saya mencoba berkeliling kota Moskwa dengan kereta bawah tanah mereka yang sangat nyaman berpindah-pindah dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Megah dan nyaman. Saya juga memilih kereta cepat Sapsan dari Moskwa ke St.Petersburg sejauh 700-an km yang hanya ditempuh selama 4 jam pada kecepatan 250 km/jam. Tak kalah dari Maglev atau Shinkansen.
Ya..saya agak kecewa mendapati Moskwa atau St.Peterburg tidak seperti penggambaran film-film Hollywood yang kacau balau di siang hari oleh sistem pemerintahan yang gagal dan kelam di malam hari. Saya memang menyukai film-film Spy sejak kecil. Tak kutemukan apartemen dengan lampu yang meredup kehabisan daya di ruang tengah. Kota ini bermandikan cahaya. Dan pemerintah Rusia tak perlu khawatir kehabisan minyak bumi dari ladang-ladang minyak mereka di bagian utara untuk memutar turbin listrik mereka.
“Semua listrik di sini berasal dari pembangkit nuklir dan harganya sangat murah. Saya hanya membayar kira-kira Rp 100 ribu/bulan utk daya listrik ribuan watt,” jelas Dasep, orang Cipanas yang sudah 22 tahun di Moskwa sebagai local staf.
Dari Dasep dan lainnya saya mendapat banyak cerita tentang orang-orang Rusia. Beberapa cerita dia jelaskan dalam bahasa Sunda kental kepada seorang anggota rombongan saya yang juga orang Sunda. Lucu.
Terbang ke arah utara bola bumi selama 16 jam via Doha, Qatar, dan mendengar celotehan bahasa Sunda di tengah orang-orang Rusia yang kesulitan berbahasa Inggris. Sempurna situasinya sebab tulisan-tulisan yang bertebaran di kota Moskwa dalam bahasa Cirilic. Saya sama sekali tak paham.
Seorang mahasiswa asal Kampung Melayu Jakarta yang studi S2 tentang nuklir di Moskwa menjelaskan bahwa kita di Indonesia terjebak pada pemahaman yang keliru tentang nuklir. Yang dibesar-besarkan adalah risiko mematikan jika terjadi error pada sebuah pembangkit nuklir. Dan kasus Chernobil di Rusia serta Fukushima Jepang sebagai contoh perbandingan. Padahal reaktor Chernobil itu generasi ke dua teknologi nuklir dan Fukushima adalah generasi ke tiga.
“Teknologi nuklir saat ini sudah memasuki generasi ke lima. Lucunya, yang membesar-besarkannya adalah mereka yang tak paham tentang nuklir dan para politisi serta pemerintah terpengaruh,” papar anak muda yang tak sempat saya catat namanya ini.
Sementara rencana PLTN Gunung Muria Jawa Tengah terus menerus menjadi wacana. Kita tampaknya harus menunggu lebih lama sebab Dewan Energi Nasional merekomendasikan kepada Presiden bahwa nuklir adalah alternatif terakhir. Sementara Rusia bisa maju karena ketersediaan energi yang melimpah dan nuklir adalah jawabannya.
Dan pembenarannya saya dapatkan pada berbagai sektor kehidupan pada kota-kota yang saya kunjungi di negara ini. St. Peterburg salah satunya. Kota yang didirikan Peter I tahun 1703 ini bahkan lebih maju dibanding Moskwa. Petugas hotel dan tulisan di berbagai tempat menulis dua bahasa, Cirilic dan Inggris.
Rekomendasi banyak wisatawan internasional, St.Petersburg adalah kota yang wajib kunjung selain Praque (Praha) di Ceko dan Vienna Austria terutama bagi mereka yang menyukai sistem tata kota yang sempurna. Saya mengakui itu. Bahkan di musim dingin seperti saat ini saja keindahan St.Petersburg masih bisa terlihat. Apalagi di musim semi. Museum Hermitages yang masuk 15 terbesar di Eropa menuntun kita memahami bagaimana visi hebat kota ini dibangun ratusan tahun lalu.
Duduk memesan Cappuccino di Kafe Kuptsvof Yeliseevjkh (begitulah penulisan nama kafe terbaik di kota St. Petersburg ini) di Jalan Nevskij, kubiarkan imajinasi saya mengembara ke masa lalu Rusia. Sebenarnya saya tak terlalu yakin apakah imajinasi saya ini benar adanya. Saya hanya mengenal Rusia dari novel-novel Rusia yang hebat atau film-film Hollywood yang sejujurnya saya sangsikan kebenarannya setelah menyaksikan sendiri negara ini.
Patung Peter I yang tertancap kaku kedinginan di halaman Taman Ekaterina persis di seberang kafe tempat saya duduk juga tak cukup banyak meyakinkan saya tentang kebenaran pengembaraan imajinasi saya. Juga saya tak cukup mendapat banyak penjelasan tentang alasan Lenin yang sempat mengubah nama kota Saint Petersburg menjadi Leningrad. Kisah yang saya dengar, Lenin pernah mencoba menahan pertumbuhan kota ini agar tidak terlalu mencolok dan terjadi ‘keseimbangan pertumbuhan’ dengan kota-kota lain di Rusia.
Di masa-masa awal Sovyet, soal keadilan dan keseimbangan dalam bingkai Marxisme dan Leninisme adalah sebuah keniscayaan.
Cerita tentang wajah Rusia kini dan masa lalu sungguh sebuah permainan imaji yang menyenangkan. Sebab sesungguhnya, demikian kisah Dasep yang datang ke Rusia saat antri pembelian dan penjatahan roti masih berlangsung, Rusia baru berubah total 5-6 tahun lalu saat Putin berkuasa untuk periode ke dua. Juga kisah tentang perebutan sebuah gedung yang awalnya dikuasai Gorbachev di tepi sungai yang membelah kota Moskwa saat transisi pemerintahan ke tangan Boris Yeltsin. Atau juga kisah tentang penunjukan Putin sebagai pengganti Presiden Yeltsin si pemabuk yang sangat rahasia dan dengan kesepakatan Putin akan ‘menjaga’ Yeltsin dari jeratan hukuman korupsi dan lainnya setelah lengser.
Entahlah. Waktu menunjuk pukul 21.40 dan saya beringsut ke luar, merapatkan penutup kepala, telinga dan leher. Suhu minus 9 derajat dengan feels like minus 17 derajat Celcius. Kelompok pemusik jalanan memainkan folklore Rusia dengan baik. Namun Sungai Neva telah membeku. Gereja Isakievskij bahkan lebih dulu menggigil digigit malam. Kubayangkan anak-anakku telah lelap tertidur di Jakarta sana empat jam lebih dahulu atas perbedaan waktu St.Petersburg – Jakarta. Anakku, negerimu jauh lebih indah dan dengan alam yang bersahabat. Simpan Indonesia didadamu! (*)
Akbar Faizal, Anggota Fraksi Partai NasDem Komisi III DPR RI