Ishomuddin Sebut Tidak Ingin Umat Islam Bertikai
JAKARTA (6 April): Rais Syuriah PB Nahdlatul Ulama KH Ishomuddin menegaskan pengadilan adalah tempat yang paling tepat untuk menentukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menistakan agama atau tidak.
"Di saat banyak orang berargumentasi bahwa pendapatnya yang paling benar dan saling cakar, keputusan pengadilanlah yang harus kita hormati," katanya kepada pers di Jakarta, Kamis (6/4) siang.
Ishomuddin menjelaskan, silang pendapat soal ayat Al Maidah 51 itu tidak akan memunculkan masalah jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengeluarkan fatwa penistaan agama yang tanpa melalui tabayun.
Ia menyayangkan MUI terburu-buru mengeluarkan fatwa tersebut dan menafsirkan "aulia" sebagaimana tertuang dalam Al Maidah 51 hanya berarti pemimpin dan dalam konteks Pilkada DKI, hanya diartikan dengan gubernur.
Ishomuddin juga menyayangkan para saksi yang didengar di depan persidangan tidak menonton video pidato Ahok yang berdurasi 1,48 jam, tapi mereka hanya menonton video yang durasinya cuma 18 detik.
Dilatarbelakangi fakta-fakta itulah, menurut Ishomuddin, banyak orang yang akhirnya menyimpulkan Ahok telah menghina agama dan ulama.
"Padahal Ahok sama sekali tidak menyebut ulama. Dia hanya bilang orang-orang," katanya.
Ishomuddin mengatakan, pengadilan adalah benteng terakhir untuk menuntaskan tuduhan yang ditimpakan ke Ahok setelah tabayun sebagai cara menuju pintu keadilan tidak pernah dilakukan.
"Saya bersedia menjadi saksi di pengadilan karena ingin membantu guna memberikan solusi. Saya ingin agar semua pihak, termasuk hakim dapat memutuskan kasus yang menimpa Ahok seadil mungkin," ujarnya.
Ishomuddin menambahkan, "Saya tidak ingin umat Islam bertikai atas masalah yang sebenarnya sangat samar-samar tapi menimbulkan perdebatan yang tiada berakhir."
Dengan begitu, tambahnya, "jangan sampai hakim menghukum orang yang benar dan membebaskan orang yang salah."
Dr Risa Permana Deli, dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, menambahkan, ia bersedia menjadi saksi ahli dalam kasus Ahok semata-mata bukan karena agama atau politik, melainkan karena kebinekaan Indonesia dalam bahaya.[]