a

Menelaah Pilkada Serentak: Antara Substansi, Tujuan dan Pencapaian

Menelaah Pilkada Serentak: Antara Substansi, Tujuan dan Pencapaian

 

Ahmad HM. Ali

Prolog 

Pilkada serentak adalah bagian dari sistem pemilu lima kotak, yaitu Kotak pertama untuk Presiden/Wakil Presiden, Kotak Kedua untuk Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Kotak ketiga untuk anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Kotak keempat untuk Anggota DPRD Propinsi, Kotak Kelima untuk DPRD Kabupaten/kota. Pilkada serentak dilaksanakan pertama kali pada Desember 2015 sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2015.

Pelaksanaan pilkada serentak Kabupaten/Kota/ dan Gubernur dibagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan tahun 2015, 2017, 2018. Sedangkan, gelombang kedua, dilaksanakan setelah pemilu 2019 hingga tahun 2027. Hal direncanakan sebagai tahapan menuju pemilihan secara serentak untuk memilih DPR, DPD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Tujuan Pilkada Serentak 

Tujuan dilaksanakannya pilkada serentak tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menciptakan iklim demokrasi. Dimana didalamnya partisipasi warga negara menjadi faktor yang menentukan calon pemimpin bangsa ke depan. Pandangan ini berangkat dari asumsi untuk mendorong proses demokratisasi secara luas, terbuka dan adil. Setiap warga negara dengan bebas tanpa tekanan mempergunakan hak politiknya untuk memilih pemimpin yang ia inginkan.

Walaupun belum seratus persen, tetapi tingkat partisipasi rakyat dalam Pilkada rata-rata menunjukan angka positif. Terlepas dari segala macam praktik mobilisasi pemilih, tetapi hal itu menunjukan bahwa Pilkada sebagai bagian sistem pemilu telah berhasil menarik partisipasi warga negara. Dalam pilkada warga negara juga memiliki kesempatan untuk melakukan seleksi langsung terhadap kandidat, calon kepala daerah secara lebih dekat dan dalam.

Pada kesempatan yang lain warga negara juga mendapatkan kesempatan untuk menerima edukasi politik. Mereka dapat ikut memperbincangkan, mendiskusikan, dan memilah beragam visi-misi, program dan mimpi kepala daerah. Dari sana masyarakat bisa mendapatkan gambaran proses-proses pembangunan melalui sarana kampanye, brosur dan alat-alat peraga kampanye. Sebagai sebuah bagian dari sistem politik, pilkada serentak juga berhasil mengurangi konflik pilkada melalui pengetatan regulasi. Masyarakat tidak lagi saling mobilisasi dukungan untuk menggugat hasil pilkada secara besar-besaran yang dapat menciptakan kekosongan pemerintahan.

Aspek Negatif: Pengalaman Pilkada Serentak

Tetapi dari sejumlah pengalaman pelaksanaan pilkada serentak pada gelombang pertama juga mengkonfirmasi kondisi yang berbeda. Proses pematangan demokrasi lewat pilkada serentak, secara substansi jauh dari yang diharapkan, bahkan gambaran idealnya berlawanan dengan fakta yang tersaji. Fakta menunjukan, dalam pilkada serentak demokrasi kita justru bergerak ke suatu titik perlombaan kemenangan yang krisis alternatif kepemimpinan. Tradisi politik yang terbangun justru semakin meminggirkan subtansi partisipasi rakyat, adil, jujur dan berkeadaban.  Hal itu terjadi karena ditengarai beberapa hal berikut:

(1)   Menguatnya politik identitas sebagai basis konsolidasi politik. Dalam Pelaksanaan Pilkada, Pancasila sebagai ideologi negara tidak memiliki alat verifikasi yang jelas sebagai batas aturan main. Pilkada serentak dibuat se terbuka mungkin tanpa ada sanksi yang ketat dan jelas. Akibatnya, celah itu dipergunakan oleh kelompok tertentu sebagai ruang konsolidasi wacana, termasuk propaganda hitam. Bahkan seringkali juga digunakan untuk kampanye ideologi tertentu yang bertentangan dengan kedudukan Pancasila.

(2)  Fungsi rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) masih belum menunjukkan perbaikan. Bila dilihat dari jumlah calon tunggal yang meningkat 200% (dari tiga daerah pada 2015 menjadi sembilan daerah pada 2017), fungsi rekrutmen itu dapat dikatakan mengalami penurunan. Pilkada 2017 juga ditandai dengan jumlah kompetitor yang sedikit. Di 101 daerah, total jumlah peserta ialah 310 pasangan calon. Artinya, rata-rata ada tiga calon di setiap daerah. Ada 34 (sekitar 34%) daerah di antaranya yang hanya memiliki dua calon. Sedikitnya jumlah calon di pilkada ini berbanding terbalik dengan jumlah partai di daerah. Kalau di tingkat nasional (DPR) jumlah partai ada 10, di tingkat daerah, tidak jarang jumlahnya lebih. Di banyak daerah, jumlah partai politik di DPRD bisa mencapai 11. Kalau jumlah calon pemimpin daerah yang muncul hanya dua atau tiga dari tiap daerah, itu berarti banyaknya partai, tidaklah mencerminkan beragamnya aspirasi kepemimpinan politik masyarakat.

(3)  Semakin identiknya pilkada dengan putaran modal yang bergerak pada industrialisasi pemilu. Setiap suara warga negara, dimaknai, bahkan dioperasikan, dan dikomodifikasi sebagai sesuatu yang dapat dipertukarkan melalui praktik money politic. Praktik transaksi suara dikodifikasi dalam beragam bentuk alat pertukaran baru, seperti Kartu Relawan, Kupon, dan sebagainya menjadi tidak bisa terelakan.

(4)  Nilai-nilai kebangsaan, ditempatkan sebatas retorika kampanye karena didesain untuk menciptakan suatu aktor politik yang diterima oleh pasar. Segala pranata sosial dan akal budi yang diluhurkan, diubah menjadi branding, merk dan identitas pencitraan untuk membungkus pribadi, kandidat yang sedang bertarung demi mencapai kemenangan. Beragam metode penelitian seperti survei, sensus, dan pemetaan politik bukan lagi ditujukan sebagai ilmu pengetahuan guna membantu masyarakat dan partai politik dalam mencapai cita-cita politik. Tetapi dijadikan sebagai alat untuk mengukur permintaan bursa “pasar suara”.

(5)  Pilkada serentak juga mendorong lahirnya dinasti politik di daerah. Pewarisan politik berdasarkan klik, keluarga, dan golongan terjadi akibat penggunaan instrumen perangkat daerah, klik bisnis, dan juga citra keluarga. Dinasti politik memberikan dampak tampilnya kembali raja-raja lama dengan wajah baru, melalui setting konsolidasi politik lokal, atau penggunaan instumen kekuasaan daerah sebagai alat pemaksa.

Dalam pengalaman pilkada serentak, hukum, etika, dan prinsip, tidak lagi menjadi sesuatu yang penting. Segala bentuk pelanggaran, perbuatan curang, dan transaksi jual beli suara seolah dihalalkan akibat pembatasan selisih perolehan suara sebagai basis legal standing di Mahkamah Konstitusi (MK) antara 1,5 hingga 2 persen, berdasarkan pengelompokan jumlah penduduk dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pendeknya, pilkada serentak yang kelihatan demokratis dan terbuka, tetapi secara substansi telah jauh menyeret paradigma politik kita pada industri pemilu. Terseret jauh dari tujuan bernegara, nilai dan peradaban politik yang dianut bangsa kita.

Masalah Substansial Pilkada

Dalam hari yang sama, Komisi Pemilihan Umum (KPU)harus mengurus pemilihan, mulai dari DPR, DPD, Presiden, Kepala Daerah dan DPRD secara bersamaan. Tentu saja bisa dibayangkan, kelak, bagaimana kompleksnya tantangan dan masalah yang harus dihadapi oleh penyelenggara negara dengan aparat keamanan. Oleh karena itu, proyeksi Pilkada serentak ke depan perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut:

Pertama, dari sisi penyiapan sosial harus benar-benar matang. Sehingga beragam entitas sosial, suku, agama dan identitas publik dapat benar-benar menyadari pilkada sebagai sarana berdemokrasi bukan mempertajam kebencian, menyulut permusuhan serta tindakan dekonstruktif lainnya. Kalau penyiapan sosial tidak memadai, beragam tantangan yang hadir saat ini bukan tidak mungkin justru akan menyatu dalam satu “belanga” yang dimasak oleh beragam kepentingan di semua level kontestasi politik berikutnya.

Pilkada akan berubah menjadi “neraka” bagi kelompok yang dianggap minoritas dan sebaliknya akan menampilkan kelompok super kuat atas nama mayoritas dalam “bungkusan” politik identitas. Penyiapan sosial dan edukasi publik berkaitan dengan sistem kepemiluan harus diletakan secara matang sebagai bagian dari sistem keamanan nasional. Segala instrumen aparatur negara harus menjadi garis penyeimbang yang dapat memastikan diri berdiri sebagai fasilitator demokrasi yang handal.

Kedua, Dari sisi asumsi keuangan negara, pelaksanaan pilkada serentak tentu saja akan mengurangi beban keuangan negara, dan penggunannya akan menjadi sangat efisien dan efektif. Tetapi asumsi ini bisa berjalan, kalau proses berdemokrasi telah benar-benar dipahami dalam kerangka suksesi kepemimpinan nasional dilakukan secara substantif, terbuka dan transparan. Sebab kalau tidak, pelaksanaan Pilkada serentak justru akan menjadi masalah besar nasional jika instrumen pengelolaan keuangan negara tidak berbanding lurus dengan substansi demokrasi. Sebab akan terjadi kekosongan pemerintahan jika terjadi mal praktik dan un-independensi penyelenggara. Tingkat kerugian negara bukan pada penggunaan anggaran semata, tetapi kualitas pelaksanaan pilkada serentak.

Ketiga, Penyiapan instrumen kelembagaan penyelenggara pilkada serentak. Belajar dari berbagai pengalaman, pelaksanaan pilkada sebelumnya, istilah “wasit ikut main”, sering dijumpai dalam sejumlah pelanggaran pilkada. Penyelenggara seringkali tidak berdiri netral akibat instrumen kepemiluan yang tidak konsisten, baik itu dalam penerapan sanksi hukum pada peserta pilkada, maupun celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tindakan dekonstruktif.

Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, DKPP dan beragam instrumen kelembagaan pemilu lainnya harus memastikan pemantapan rencana, detailing activities, tekhnis kepemiluan dan sarana alat-alat peraga lainnya. Semua peserta pemilu harus terpastikan mendapatkan hak-haknya sesuai aturan perundang-undangan.

Pilkada dalam Pandangan NasDem

Politik identik dengan framing buruk karena hancurnya kepercayaan rakyat terhadap sebagian besar janji-janji politisi. Dari pemilu ke pemilu, pilkada ke pilkada, hingga pilkades, rakyat seringkali hanya meratapi janji setelah sosok kandidat atau Partai politik yang ia dukung tak kunjung merealisasikan janjinya. Nyaris, sulit menemukan aktor dan partai politik yang dapat diteladani sebagai inspirasi politik.

Kesadaran inilah yang dipahami Partai NasDem berkaitan dengan sistem pemilu dan pandangan dunia kebangsaan saat ini. Bahwa arah dan tujuan bangsa ini semakin terseret jauh dalam alam liberalisme politik. Kontestasi politik tidak lagi sebagai alat konsolidasi kepentingan bersama, cita-cita bersama, dan harapan kolektif kebangsaan.

Bagi Partai NasDem, Pilkada harus dijadikan momentum kembali pada cita-cita kebangsaan. Sebagai sarana suksesi kepemimpinan dalam rangka mewujudkan RESTORASI Indonesia. Kontestasi pilkada bagi NasDem bukan sekedar ‘adu menang dan kalah’ tetapi menjadi ajang konsolidasi gagasan dan nilai-nilai kebangsaan. Didalamnya harusnya diisi dengan adu gagasan dan penajaman visi perjuangan untuk mendorong edukasi politik bagi rakyat.

Olehnya, NasDem memandang, Pilkada harus diitervensi dengan memegang teguh nilai-nilai perjuangan dalam empat prinsip sebagai berikut:

Pertama, setiap kader harus memiliki keteguhan dalam menjalankan prinsip dan gagasan Partai;

Kedua, memberikan gagasan dan kritik yang berpangkal pada kearifan nilai-nilai kebangsaan;

Ketiga, regenerasi kepemimpinan harus kuat dan membangun seribu satu pilihan kepemimpinan alternatif bagi rakyat, dan

Keempat, setiap kader yang terpilih sebagai kepala daerah harus mendorong memproduksi kebijakan publik yang patut diteladani.

Intisari gagasan Restorasi Indonesia yang diajukan oleh Partai NasDem sebagai payung tindakan politik adalah suatu gerakan memulihkan, mengembalikan, serta memajukan fungsi pemerintahan Indonesia kepada cita-cita Proklamasi 1945. Suatu aksi konstitusional yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Pragmatisme dan liberalisasi politik dalam pilkada adalah lawan paradigmatik Partai NasDem. Intisari perjuangan NasDem bukan sekedar mengantarkan orang jadi kepala daerah, tetapi Partai NasDem harus mengawal dan mendorong pemerintahan daerah untuk menjadi teladan publik. Memastikan bahwa kader Partai NasDem yang menjadi kepala daerah harus membawa perubahan mendasar dalam pelayanan publik. Memproduksi kebijakan publik yang bertujuan untuk wewujudkan kesejahteraan rakyat dan melindungi segenap kepunyaan rakyat.

Penutup

Demikian telaah kritis berkaitan dengan tujuan, pelaksanaan, dan pengalaman dari Pilkada serentak. Pilkada serentak memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang perlu dipertimbangkan;

Pertama, orientasi pilkada serentak masih jauh dari susbtansi proses demokratisasi akibat masih kuatnya politik mobilisasi pemilih;

Kedua, Pilkada serentak belum sepenuhnya dapat mengubah perilaku pemilih menjadi lebih arif dan partisipatif, melainkan justru menguatnya pragmatisme dan transaksional.

Kelemahan-kelemahan dalam pilkada serentak tersebut, harus segera diperbaiki, direfleksi kembali untuk memperkuat proses demokratisasi di tanah air. Kita perlu membenahi kembali instrumen kelembagaan, aturan perundang-undangan Pilkada serentak, agar segala potensi negatif yang dapat merusak tatanan berbangsa dan bernegara dapat diminimalisir.

Palu, 10 Mei 2017

Penulis adalah Anggota Komisi III DPRI, Fraksi NasDem

Add Comment