ABN, Indonesia Kini dan Tanggungjawab Parpol
Oleh: Akbar Faizal
Ketua DPP Partai NasDem
72 tahun silam, para founding fathers membuat kesepakatan maha besar bernama Indonesia. Tidak hanya sekedar nama, diksi Indonesia mengandung makna yang luas dan dalam. Ia adalah representasi dari beragam agama, bahasa, budaya, suku, hingga warna kulit. Semua bersepakat untuk mengesampingkan kepentingan dan ego kelompoknya demi tujuan nasional yang ditancapkan di dalam konstitusi bernegara.
Proses bernegara sebagai Indonesia telah melewati lorong waktu, hingga berganti abad. Ibarat kapal besar, Indonesia telah menerjang berbagai macam riak dalam bentuk evolusi dan revolusi. Bukan sesuatu yang singkat dan mudah, karena ada air mata, darah dan nyawa ditumpahkan yang harus dibayar untuk sebuah proses.
Proses bernegara itu membuat posisi Indonesia hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Beragam statistik dan pencapaian di berbagai sektor menunjukkan grafik dan tren ke arah positif. Salah satu kemajuan yang menonjol adalah surplus demokrasi pasca periode transisi orde baru ke orde reformasi di penghujung abad 20. Surplus itu ditandai dengan fenomena kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana pengaturan di dalam UUD 1945.
Di zaman modern seperti sekarang ini, kebebasan berekpresi tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Setiap warga Negara, dari Aceh sampai Papua bisa bertatap muka secara maya, berbalas cuit hingga berbagi gambar. Media sosial atawa teknologi membuat batasan geografis menjadi ‘hilang’. Dunia maya menjadi bising dan riuh, bahkan keriuhannya pernah menempatkan Jakarta sebagai kota terbanyak menghasilkan cuitan di twitter.
Gerak lari transformasi teknologi sudah teramat kencang. Hari ini, orang tak perlu lagi berdemonstrasi turun ke jalanan. Demonstrasi kini bisa dilakukan dengan petisi dari masing-masing gadget dan wifi. Ya, demokrasi jalanan sudah mulai beralih ke demokrasi jari jemari. Kita tak akan kuasa menahan perubahan zaman. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Jika tak pandai-pandai membawa diri, maka bersiaplah menjadi korban zaman.
Hukum alamnya, perubahan selalu membawa dua ekses, positif dan negatif. Teknologi berarti kemudahan hidup dan bagi mereka yang berpikir cerdas, bahkan bisa disulap menjadi tambang uang. Namun bagi sebagian orang, ekses yang ditimbulkan dari modernisasi komunikasi maya yang tampaknya terlalu cepat maka efek seperti bullying membuat kerekatan sosial antar anggota masyarakat makin longgar. Bangsa kita menjadi mudah terpecah belah, terhasut dan tersulut kemarahannya terhadap sesuatu hal yang seharusnya bisa disikapi dengan kepala dingin.
Hal ini semakin diperparah oleh hoax yang tak bertanggungjawab. Sebagian saudara kita terlalu cepat menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima tanpa melakukan verifikasi kebenarannya. Seringkali atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, seseorang bisa berkata apa saja sesuka hatinya. Padahal hak kebebasan itu berdiri secara diametral dengan hak asasi orang lain.
Jika kita salah mengantisipasi, ancaman perpecahan sudah di ambang pintu. Karena itu, negara perlu perlu lebih hadir di tengah-tengah masyarakat. Negara tidak dapat hanya dimaknai sebagai pemerintah/eksekutif saja, tetapi semua lembaga negara, termasuk partai politik sekalipun. Bahkan sejatinya kita semua sebagai warga negara wajib menyelamatkan (membela) negara dari setiap ancaman.
Menggagas Peran Parpol
Konstitusi memberi mandat kepada partai politik (parpol) untuk mengelola negara dan membela negara sesuai dengan fungsinya. UU parpol sendiri menempatkan parpol sebagai pilar utama pendidikan politik, penyerap aspirasi politik dan media rekrutmen politik dalam rangka pengisian jabatan publik. Pertanyaannya, dengan segudang permasalahan bangsa yang tengah dihadapi bangsa ini, sudah sejauh manakah partai politik mengambil bagian dari solusi? Bagaimana kita sebagai sebuah bangsa menghadapi ini semua?
Tengoklah nasionalisme total dalam bentuk spirit/semangat, seperti halnya di Amerika atau China. Meski mereka lebih maju dalam hal model demokrasi dan teknologi, teknologi hanyalah sebagai alat, sedangkan nasionalisme dalam dada setiap warga negaranya menjadi hal yang utama. Cara mencapainya adalah dengan terus menerus digelorakan kebanggaan sebagai sebuah bangsa dengan nilai-nilainya dan bukan sebaliknya dalam bentuk menggelorakan globalisasi atas nama teknologi yang semu.
Jika kita runut ke belakang, tujuan umum dibentuknya parpol adalah memujudkan cita-cita nasional, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya meningkatkan partisipasi anggota dan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan cita-cita parpol, dan membangun etika dan budaya politik (vide: pasal 10 UU Parpol).
Tujuan pembentukan parpol sangat relevan dengan tugas-tugas bela membela negara dari ancaman di segala bidang. Bela negara memiliki konteks yang sangat luas. Bela Negara adalah memperjuangkan setiap kepentingan dan tujuan Negara dalam hal apa saja. Bela negara dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Bela Negara bisa dilakukan oleh tukang becak di daerah antah berantah hingga politisi di pusat kekuasaan. Bela Negara bisa dilakukan dengan tenaga, dengan berbicara ataupun dengan menggunakan pena.
Parpol tidak boleh hanya disibukkan dengan agenda pemilu dan pilkada yang sifatnya jangka pendek. Ada kepentingan lebih besar yang harus diperjuangkan. Dengan kata lain, parpol tidak boleh hanya berkutat dengan urusannya sendiri, apalagi semata soal popularitas dan elektabilitas. Parpol tidak boleh abai dan lepas tangan terhadap setiap ancaman permasalahan bangsa yang muncul. Parpol mau tidak mau harus turun tangan mengatasi persoalan.
Maka dalam konteks implementasi peranan partai politik, Akademi Bela Negara (ABN) yang didirikan oleh Partai NasDem merupakan salah satu cara parpol untuk menjawab tantangan zaman itu. Sebagai parpol berusia muda, NasDem telah menawarkan paradigma baru dalam berpolitik dan bernegara. Paradigma itu mewujud diantaranya dalam bentuk penolakan dana aspirasi anggota DPR, rekrutmen politik tanpa mahar, penolakan hampir semua kegiatan studi banding ke luar negeri. NasDem mencoba menghadirkan harapan baru di antara derasnya pesimisme dan delegitimasi terhadap parpol.
Proses ini penting bagi parpol sendiri secara internal dan secara eksternal. Secara internal, terobosan ala NasDem penting guna mencetak kader-kader partai nasionalis siap pakai yang tegak lurus pada semangat nasionalisme dan NKRI. Bagi sebuah partai modern, sumber daya tidak boleh hanya dimaknai secara finansial saja, tetapi yang lebih utama justru sumber daya manusia.
ABN juga dapat menjadi jawaban atas kegagapan kaderisasi yang membuat kadernya juga gagap dalam banyak hal termasuk dalam hal nasionalisme. Generasi milenial juga menyergap mereka yang menyebut diri kader parpol. Hal ini sebenarnya normal, namun menjadi anomali karena globalisasi terlalu kuat mendominasi alam berpikir mereka. Sehingga, jejak-jejak nasionalisme kader parpol dan segala hal yg berhubungan dengan kebangsaan tidak dapat teridentifikasi sebagai akibat kaderisasi yang bermasalah.
Secara eksternal, inisiasi partai NasDem ini diharapkan dapat menjadi trigger bagi partai dan organisasi lain agar selalu mengingat khittahnya sebagai parpol agar selalu sadar akan tugas dan tanggungjawabnya. NasDem tentu saja akan bersenang hati jika gagasannya diadopsi parpol lain tanpa perlu merasa gagasannya ditiru. Karena NasDem sadar benar, bahwa memperbaiki bangsa ini tidak bisa dilakukan seorang diri.
Akhirnya, sekecil dan sebesar apapun ikhtiar yang dilakukan oleh elemen bangsa seharusnyalah didukung. Seperti kata pepatah ‘daripada mengutuk gelap, mari nyalakan lilin’. Lilin-lilin yang dinyalakan Partai NasDem ini mencoba untuk menghadirkan secercah cahaya harapan yang menerangi kegelapan. (*)