Kuda Hitam Pilkada Malra 2018
MALUKU TENGGARA, MALUKU (27 September): Dengan memiliki lima kursi DPRD Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), menempatkan Partai NasDem punya posisi strategis dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 nanti. Ada sejumlah tokoh yang sudah mendaftarkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Malra. Salah satunya adalah HM Thaher Hanubun yang juga kader Partai NasDem.
HM Thaher Hanubun di kenal masyarakat Kei sebagai tokoh adat Maluku Tenggara yang sederhana dan merakyat. Sosok ini dianggap memiliki basis massa yang jelas sejak dipercayakan sebagai Anggota DPRD Provinsi Maluku dua periode (2004-2009)-(2009-2014) hingga pencalonannya sebagai Bupati Malra tahun 2013 lalu.
Pada pilkada tahun 2013 lalu, HM Thaher Hanubun memiliki elektabilitas 29 persen dan memiliki basis terkuat di Kei Kecil, Kei Kecil Timur dan Kei Kecil Barat dengan Populasi di tiga kecamatan mencapai 96.442.
Dalam Pilkada Serempak Tahun 2018 ini di kabupaten Malra, HM Thaher Hanubun disebtu-sebut bisa menjadi kuda hitam bagi calon bupati lainnya. Disebutnya, HM Thaher Hanubun siap menghadirkan perubahan di Kabupaten Malra. Bersama Partai NasDem ia yakin, seluruh kegelisahan masyarakat Kei akan terjawab.
"Tiga persoalan dasar yang dihadapi masyarakat Kabupaten Malra, yaitu jalan, air bersih, lapangan pekerjaan serta transportasi akan menjadi perhatian khusus pemerintah kedepan," ungkap Hanubun.
Lebih jauh Thaher Hanubun juga mengatakan, selain tiga pesoalan dasar yang hingga saat ini pemerintah Kabupaten Malra belum terjawab secara optimal, perlu pula dilakukan restorasi budaya.
Namun ditambahkannya pula, restorasi budaya ini tidak kemudian mengabaikan tiga tiang penyangga tatanan kehidupan masyarakat yaitu adat, pemerintahan dan agama.
"Eksistensi dan jati diri masyarakat malra menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar. Itu harga mati," tandasnya.
Tatanan hidup masyarakat Kei yang telah digariskan para leluhur harus dikembalikan pada proporsinya. Hak-hak dasar masyarakat harus dapat dipenuhi dan tidak lagi dieksploitasi, dan jauh lebih penting adalah merekonstruksi tata ruang wilayah dengan menjadikan Marla sebagai pusat kota suci bagi umat katholik.
"Maluku Tenggara, ke depan haruslah menjadi beranda bagi cerminan kehidupan masyarakat Indonesia yang ‘plural’ berlandasarkan nilai-nilai kebinekaan. Menghargai perbedaan dan hidup damai dalam perbedaan," pungkas Hanubun. (ONGEN/*)