a

Restorasi Ekonomi Indonesia: Dari Daerah Pulihkan Dunia

Restorasi Ekonomi Indonesia: Dari Daerah Pulihkan Dunia

Oleh: Ahmad M Ali

Perencanaan kita masih terpusat? Walaupun aplikasi pemerintahan telah
lama mengandung konsep desentralisasi. Demikian pula dengan semboyan
Persatuan dan Kesatuan bangsa, masih terlalu identik dengan aroma
‘Jakarta Sentris’, sebagai satu-satunya region kapital Indonesia yang
sering disingkat kawasan JABODETABEK. Sesuatu yang sulit sekali untuk
tidak disebut sebagai pusat sirkulasi segenap modal, jasa, tekhnik,
informasi, dan kerja yang dikonservasi selama nyaris 72 tahun Indonesia
merdeka.

Saya kira, kesadaran akan hal inilah yang tumbuh dalam benak Presiden
Joko Widodo, sehingga teritorialisasi regional kapital itu berusaha
diralat, diubah dengan sebuah pendekatan baru, membangun Indonesia dari
pinggir. Tidak cukup dengan itu, Jokowi mengikutinya dengan rencana
memindahkan ibu kota dari Jakarta. Sebuah gagasan yang sudah sejak lama
terpendam dalam rahim bumi pertiwi.

Tetapi nampaknya, niat dan rencana Presiden Joko Widodo ini belum
sepenuhnya menjadi kesadaran kolektif para teknokrat dan pejabat-pejabat
yang membantunya. Kesepakatan atas perspektif itu masih bertarung keras
dengan zona nyaman aplikasi yang sentralistik. Sehingga, sekali lagi,
pembangunan daerah masih ditentukan oleh modal, tekhnik, dan kerja dari
‘Jakarta’ sebagai sentra konsolidasi region kapital.

Bagaimana pun, fakta-fakta itu terlihat jelas pada masa-masa awal
semboyan membangun dari pinggir dihembuskan dari istana. Terdapat
pelambatan respon dimana-dimana.

Pertama, instrumen hukum yang diperlukan tidak singkron antar sektoral.

Kedua, target yang dibebankan rata-rata tidak tercapai.

Ketiga, yang paling terasa adalah asumsi penyerapan anggaran
60 persen pemerintah daerah tidak tercapai. Presiden pun mengajukan
perubahan susunan kabinet sebagai respon atas kelambatan itu.

Situasi Ekonomi Kita Terkini

Kondisi perekonomian global saat ini berada dalam situasi yang serba
tidak menentuh, demikianlah ungkapan para analis. Selain  bergantung
pada ekspansi perekonomian Amerika Serikat, sisi yang lain sedang
dihantui pelemahan ekonomi kawasan Eropa sebagai ekses keluarnya Inggris
dari Uni Eropa. Negara-negara berkembang diharapkan menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi global. Pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok
diperkirakan masih akan berlanjut akibat transisi kebijakan domesik ke
industri dan jasa. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang semula
diharapkan membawa dampak positif bagi aktivitas perekonomian di kawasan
Asia Tenggara, justru mengancam produksi nasional karena kompetisi
peredaran barang sejenis dalam skala regional.

Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2017 diperkirakan menguat menjadi 3,4
persen, dan negara-negara berkembang diharapkan tumbuh hingga 4,6
persen. Walaupun Bank Dunia hanya memperkirakan angka pertumbuhan 2,7
persen. Volume perdagangan dunia yang menjadi faktor pendorong utama
penguatan pertumbuhan diperkirakan tumbuh hingga 3,9 persen di tahun
2017, meningkat dari 2,7 persen di tahun 2016.

Situasi ekonomi global demikian itu yang menjadi latar asumsi dasar
ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan RAPBN tahun 2017.
Yang  terdiri dari tujuh (7) bagian sebagai berikut:

Pertama, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen.

Kedua, inflasi sebesar 4,0 persen.

Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp.13.300 per dolar Amerika Serikat.

Keempat, suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,3 persen.

Kelima, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar USD45 per barel.

Keenam, lifting minyak Indonesia sebesar 780 ribu barel per hari.

Ketujuh, lifting gas sebesar 1.150 ribu barel setara minyak per hari.

Keadaan pasang surut pertumbuhan belum sukses mengubah kerangka
ekonomi nasional belum menyentuh titik navigasi yang establish. Masih
terdapat turbulensi sewaktu-waktu. Bank Indonesia menyebutkan,
perekonomian nasional pada triwulan II 2017 tumbuh 5,01 persen; relatif
stabil dibanding triwulan lalu. Pertumbuhan ekonomi yang belum sekuat
perkiraan ini dipengaruhi melambatnya ekonomi Jawa dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI) seiring melemahnya kinerja ekspor luar negeri (Jawa) dan
konsumsi pemerintah.

Pada sisi lain, ekonomi Maluku-Papua (Mapua) dan Bali -Nusa Tenggara
(Bali Nusra) yang tumbuh meningkat tak cukup mampu menopang peningkatan
pertumbuhan KTI maupun nasional mengingat pangsa ekonomi kedua wilayah
tersebut yang relatif kecil. Adapun ekonomi Sumatera tumbuh stabil
ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Meski 24 dari 34 provinsi masih
mencatatkan pertumbuhan diatas 5%. Akan tetapi, bila dibanding triwulan
sebelumnya, terdapat 20 provinsi yang mengalami pertumbuhan lebih
rendah.

Ekonomi Kita Dipersimpangan Makroisasi

Salah satu dasar untuk melihat bentuk perencanaan sentralistik adalah
aplikasi Keynesian, dalam kerangka ekonomi makro. Terletak dalam
perencanaan pembangunan yang didasarkan pada penilaian ekonomi secara
menyeluruh rata-rata nasional. Maka tidak heran, jika kerangka ekonomi
nasional seringkali tidak berhubungan langsung dengan perubahan
kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak terkoneksi satu sama lain dengan
perencanaan pemerintah daerah. Sebabnya sederhana, sumbangan PDB, 80
persen hanya bersumber dari Jawa-Bali, khususnya kapital region
‘Jakarta’.

Ibarat lomba lari, pemerintah pusat sedang berlari mengejar ke pinggir, daerah sibuk membangun tangga untuk memanjat ke pusat.
Pada akhirnya, tidak ada titik temu. Ekonomi kita berjalan di
persimpangan asumsi, sehingga rakyat merasa tidak terurus, dan hidup
dalam skala batas-batas ekonomi regional yang tidak terpantau radar
kerangka makro.

Data-data dasar dapat dirujuk pada laporan Bank Indonesia yang
menyebutkan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II 2017 mencatat
surplus sebesar USD 0,7 miliar ditopang oleh surplus transaksi modal
dan finansial yang lebih besar dari defisit transaksi berjalan. Bank
Indonesia juga mencatat, bahwa surplus NPI tersebut mendorong
peningkatan posisi cadangan devisa dari USD 121,8 miliar pada akhir
triwulan I 2017 menjadi USD 123,1 miliar pada akhir triwulan II 2017.
Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan
pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah selama 8,6 bulan dan
berada di atas standar kecukupan internasional.

Dengan demikian, kerangka ekonomi makro secara nasional tidak lagi
bisa menjangkau keadaan pembangunan secara keseluruhan tiap-tiap daerah.
Sehingga bentuk perencanaan tersebut tidak mungkin membantu provinsi
yang mengalami pertumbuhan rendah jika dasar-dasar asumsinya tidak
dimulai dari perhitungan kawasan. Dengan demikian, besaran pengeluaran
dan pembiayaan nasional masih tidak mungkin dapat mencapai target yang
diperlukan akibat tidak ada skenario yang sama. Caranya, tumbuhkan
regionalisme kawasan intern.

Restorasi Ekonomi Indonesia

Kembali pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia itulah yang kita butuhkan. Sarjana Indonesia, sudah
perlu melibatkan dirinya, mendorong kemandirian, akselerasi kreativitas
dan membumikan ilmu-ilmu ekonomi yang sesuai dengan kenusantaraan kita.
Mungkin sebagian dari kita sudah lupa, bahwa Republik Indonesia (RI)
adalah negara yang berada di lintas khatulistiwa, di antara benua Asia
dan Australia serta membela samudera pasifik dan hindia. Memiliki 17.504
pulau yang tercatat resmi, dengan populasi lebih dari 263.846.946 juta
jiwa pada tahun 2016.

Dengan demikian, potensi secara umum untuk membangun perencanaan regional berbasis aplikasi kawasan inter:

Pertama, Indonesia memiliki kelebihan tenaga kerja. Kelebihan populasi adalah trand
demografi kita dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan akan panen raya,
mungkin pada 2030-2045. Ramalan itu sebetulnya tidak perlu, jika kita
melihat ke luar dari jendela kamar, maka akan terlihat parade
pemuda-pemudi bangsa mengantri sekolah dan pekerjaan.

Kedua, mempertinggi kapasitas produksi nasional berbasis
aplikasi intern kawasan. Setelah era desentralisasi tercatat 34
Provinsi, dibagi menjadi 416 kabupaten dan 98 kota atau 7024 daerah
setingkat kecamatan atau 81626 daerah setingkat desa. Dapat dibayangkan,
bila masing-masing skala pemerintahan itu memiliki satu Badan Usaha
Produktif berbasis rencana produksi komoditi. Dengan demikian terdapat,
34 BUMD Provinsi, 416 BUMD Kabupaten, 98 BUMN Kota, dan 81.626 BUMDES.
Yang kesemuanya digerakan oleh dana stimulus intern dengan aplikasi
komoditas dalam regional masing-masing.

Ketiga, revolusi mental atau pembangunan karakter bangsa
harus pada perspektif adaptasi masyarakat dalam tatanan dunia baru, ke
luar dari kotak perencanaan terpusat orde baru. Bahasa ESDM menyebutnya human capital.
Kerja untuk semua hal ini bukan sekedar retorika, mestinya diikuti
dengan langkah terpadu pembangunan pusat-pusat politekhnik raksasa yang
melahirkan putera-putera bangsa agar bisa membakar tembaga, menggoreng
nikel, memahat kayu, dan menyuling minyak.

Keempat, tiap-tiap pulau memiliki kunggulan komparatif yang
bisa bertukar secara kompetitif dengan lainnya. Punya sumber daya alam
terbarukan maupun tidak terbarukan. Daftar sumber daya itu bahkan telah
cukup lama menjadi ajang pameran tiap tahun. Sayangnya, potensi itu
selalu identik mengharap belas kasih investor. Mestinya, dikerjakan
sendiri lewat arahan dan bantuan pemerintah.

Begitu pula dari segi kebudayaan, semboyan ‘kerja harusnya
benar-benar dikongkritkan dengan gerakan ‘tak boleh ada yang
menganggur’. Sehingga semua elemen masyarakat bahu-membahu bekerja pada
aplikasi rencana yang disepakati bersama dalam satu regional
masing-masing. Pasar itu punya kita, sudah seyogianya pertukaran dapat
berlangsung dalam semua skala regional, antar provinsi, kabupaten kota,
kecamatan hingga desa.

Peran tekhnokrat yang diperlukan adalah membangun kerangka fiscal
yang bisa beradaptasi dengan pola pembangunan baru. Bukan dengan cara
menerbitkan sebanyak mungkin Permen sektoral untuk mengundang investasi
asing sebanyak-banyaknya, yang kadang-kadang rewel terhadap aturan
negara.

Kita sudah perlu mengurangi ketergantungan pada asumsi pergerakan
modal dan jasa lintas batas-batas negara dengan cara BERDIKARI. Tokh
juga pada akhirnya, kita semua sedang bergerak mengatasi krisis.
Kemapanan ekonomi regional justru akan membantu mengatasi ekonomi
global. Dunia mengakui, potensi perluasan dan percepatan investasi baru,
hanya ada di Asian Tenggara, wabil khusus Indonesia. Kita harus
memulainya!(*)

Ahmad M Ali adalah Bendahara Umum DPP Partai NasDem/Anggota Komisi VII DPR RI.

Add Comment