NasDem Harap Parpol Diterima di Kampus

YOGYAKARTA, (28 Maret): Perguruan tinggi diharapkan mampu membuka diri terhadap kehadiran partai politik di lingkungan kampus. Hal tersebut mengemuka dalam 'Diskusi Publik' yang digelar Kaukus Politisi Muda Regional DIY bertajuk 'Peluang Politisi Muda di Pemilu 2019' yang berlangsung di Ruang Bulaksumur, University Club, UGM, Yogyakarta, Selasa (27/03).

Acara yang diselenggarakan Satu Nama bekerjasama dengan Konrad Adenaeur Stiftung Jerman itu menghadirkan pembicara Airlangga Pribadi (Dosen Fisip Universitas  Airlangga), Amalinda Savirani (Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada), Willy Aditya ( Ketua DPP Partai NasDem) dan Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara).

Amalinda Savirani sebagai pembicara pertama banyak menekankan pada kisah sukses politisi Italia Luigi Di Maio sebagai calon Perdana Menteri Italia berusia 31 tahun. Luigi Di Maio berasal dari gerakan akar rumput dan bergabung dalam gerakan protes ke jalan 'five movement start' yang meneriakan isu-isu ekonomi sejak Eropa dilanda krisis ekonomi. Gerakan ini kemudian bertransformasi menjadi partai politik.

Kesuksesan Luigi Di Maio bukan hanya karena isu-isu yang diangkat merupakan isu sentral di Italia. Namun juga karena metode propagandanya sangat kekinian yaitu memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan gagasan kelompok mereka.

Kisah sukses  five stars movement dapat menjadi bahan refleksi bagi politisi muda Indonesia di 2019, bahwa idealisme mereka dapat ditransformasikan secara masif ke publik melalui metode kreatif yaitu kekuatan internet (medsos) tanpa selalu terjebak politik patron client. Kolaborasi para politisi muda menjadi kunci sukses di 2019.

Willy Aditya memberi 3 catatan penting dalam paparannya meliputi Rezim Elektabilitas dalam Kandidasi, Reproduksi Otak Kebencian Manusia dalam Politik melalui Chanel Media Sosial, dan Future of Democracy adalah keberanian dari aktor (khususnya) anak muda. Tantangan inilah yang harus mampu dijawab oleh politisi muda di kontestasi 2019, khususnya untuk peran-peran anak muda di partai politik.

Ketua DPP Partai NasDem ini memaparkan bahwa NasDem telah menjadi partai yang sudah menunjukan best practice bagaimana anak-anak muda diberi ruang yang sangat besar di partai tersebut.

"Mulai dari keberadaan anak-anak muda di level DPP sampai keberadaan 30 orang mahasiswa yang menjadi Anggota Legislatif hasil Pileg 2014, dari 600 yang menjadi caleg," papar Willy.

Lebih jauh Willy juga menjelaskan, yang harus dipahami juga bahwa preferensi pemilih tidak pada kategori golongan usia.

"Jadi politisi muda memang harus berjuang dengan membangun jejaring berbasis isu dan komunitas dari jauh-jauh hari agar pemilu 2019 tidak akan berjalan jurdil jika tidak dikawal secara baik," terang Willy.

Lebih jauh Willy juga menuturkan, pemilu seharusnya berdasar pada electoral law and forceman, bahwa politik mahar ini harus dihilangkan.

"Sayangnya baru NasDem yang mendeklarasikan politik tanpa mahar," ujar Refly Harun yang menjadi pembicara ke tiga.

Ditambahkan Rafly, para politisi muda juga harus fokus pada isu yang memperjuangkan idealisme mereka seperti mengkritisi UU MD3 dan Parlemetary Treshold.

Airlangga Pribadi sebagai pembicara terakhir menekankan pentingnya politisi muda aktif berkontribusi mengawal isu UU Ormas atau MD3.

"Harus ada transformasi keterlibatan kaum muda dalam pengambilan kebijakan publik," ujar Airlangga Pribadi.

Dalam forum ini sedikit banyak tergambar pernyataan peserta bahwa para pemuda masih memandang partai politik masih menjadi agen oligarki. Mereka memandang berpartai sama dengan menjadi agen oligarki. Anak muda kritis di luar sistem tapi kehilangan daya kritis ketika berada dalam kekuasaan. Politisi muda harus membuat demokrasi ini tidak hanya mampu 'bekerja' tetapi juga demokrasi 'bermafaat'.(*)

Add Comment