Lagi, Menyoal Kredibilitas Ma'ruf Amin

Oleh Gantyo Koespradono

SAAT Presiden Joko Widodo menyebut nama KH Ma'ruf Amin sebagai sosok yang akan mendampinginya menjadi calon wakil presiden periode 2019-2024 minggu pertama Agustus lalu, banyak orang yang tidak menyangka, bahkan terkejut.

Sangat mungkin Mahfud MD, tokoh yang disebut-sebut telah disiapkan menempati posisi itu, juga terkejut, sebab ia tidak menyangka, Jokowi dan sembilan partai koalisi akhirnya memercayakan Ma'ruf Amin sebagai cawapres. Padahal Mahfud telah menyiapkan diri menuju kontestasi Pilpres 2019 mendampingi Jokowi.

Bertubi-tubi pesan berupa pertanyaan via Whats App masuk ke ponsel saya. Seorang ibu bertanya seperti ini: "Kenapa sih Ma'ruf Amin yang dipilih?"

Ibu yang selalu mengikuti perkembangan politik itu kembali bertanya dengan agak nyinyir: "Apa nggak salah Jokowi memilih cawapres yang sudah tua, sarungan pula? Apakah masih mampu? Kapan dia pakai celana panjang?"

Saya percaya sampai hari ini masih banyak anggota masyarakat yang mempersoalkan dan mempertanyakan kemampuan dan kredibilitas Ma'ruf Amin.

Tak bisa dimungkiri ada pula yang meragukan nasionalisme kebangsaan Ma'ruf. Mereka bertanya-tanya, bisakah dia diandalkan untuk mengedepankan serta menjaga pluralisme dan kebinekaan bersama Jokowi?

Wajar jika mereka memersoalkan kredibilitas Ma'ruf Amin dalam soal yang satu itu (pluralisme-kebinekaan), sebab ketika Pilkada DKI Jakarta digelar tahun lalu, ia dekat dengan gerakan brutal serial nomor togel.

Pada saat itu, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin mengeluarkan fatwa tentang "penistaan" agama dan memosisikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai korban, sehingga para lawan Ahok melegitimasi fatwa MUI itu untuk terus memfitnah Ahok, dan ujung-ujungnya Ahok dipenjara.

Pilkada DKI Jakarta 2017 tidak saja melukai Ahok, tetapi juga menodai demokrasi. Pilkada di Jakarta benar-benar wujud demokrasi yang paling buruk di Indonesia. 

Amit-amit, jangan sampai peristiwa itu terulang di negeri ini, apalagi di saat kita menghadapi Pemilu Serentak 2019 yang di dalamnya ada pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden.

Pada mulanya, lewat tekanan dan agitasi yang bermotifkan "asal bukan Ahok", Ma'ruf Amin dianggap atau dicurigai berada di dalam gerakan atau aksi mencoreng demokrasi itu.

Namun, dalam perjalanan berikutnya, saya yakin batin Ma'ruf bergejolak bahwa selama ini ia telah berada pada kelompok atau tempat yang salah.

Informasi yang saya peroleh, Ma'ruf Amin diam-diam menjenguk Ahok yang mendekam di balik jeruji Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Setelah itu, Ma'ruf Amin lebih kooperatif kepada pemerintahan Jokowi. Ia bahkan "pasang badan" ketika Jokowi diserang pihak lawan, terutama sesepuh PAN, Amien Rais.

Informasi A-1 yang saya peroleh, Ma'ruf Amin beberapa kali secara diam-diam juga bertemu dengan sejumlah tokoh yang sangat peduli dengan utunya NKRI, antara lain Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh.

Belakangan, saat memerkenalkan diri sekaligus memberikan pembekalan kepada para calon anggota legislatif (dalam acara Pekan Orientasi Caleg DPR-RI NasDem) di Jakarta, Minggu (2 September), Ma'ruf Amin berterus terang bahwa ia pernah bertemu dua kali dengan Surya Paloh.

Kesadaran politik Ma'ruf Amin seperti itulah yang kemudian saya jadikan argumentasi dalam tulisan saya di portal opini Seword berjudul "Ma'ruf Amin Layak Menjadi Cawapres Jokowi".

Saya menulis opini itu tiga bulan sebelum Jokowi dan sembilan partai pendukung memilih dan menetapkan Ma'ruf Amin sebagai cawapres untuk mendampingi Jokowi. Tak percaya, tapi nyata.

Saat Partai NasDem mengundangnya untuk hadir dan berbicara dalam acara Pekan Orientasi Calon Anggota Legislatif, saya menduga banyak kader NasDem — tidak kecuali para caleg — yang masih memersoalkan kredibilitas Ma'ruf Amin.

Saya memaklumi, sebab banyak yang belum mengenal betul siapa sebenarnya Rois Am Nahdlatul Ulama (NU). 

Namun, begitu mereka mendengar langsung visi dan misi serta impian yang disampaikan Ma'ruf tentang NKRI, para caleg partai pengusung restorasi Indonesia itu akhirnya menilai bahwa kenegarawan Ma'ruf Amin tidak bisa lagi diragukan.

Selain berkomitmen menjaga keutuhan bangsa, Ma'ruf mengungkapkan bahwa kebinekaan dan keberagaman adalah karunia Allah yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Oleh sebab itu kewajiban kita bersama untuk menjaganya.

Kebinekaan, disebut Ma'ruf Amin sebagai nilai-nilai yang telah mendarah daging di bumi Indonesia. Konkretnya, NKRI adalah jiwa dan raga bangsa ini.

Oleh sebab itu, khilafah (negara berdasarkan Islam), menurut Ma'ruf Amin tentu tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sungguh aneh jika di luar sana masih ada sekelompok orang yang menggembar-gemborkan khilafah.

"Kita bukannya menolak khilafah, tapi jika ada pihak yang memaksakan khilafah di negeri ini, maka dengan sendirinya akan tertolak. Sekali lagi kita bukan menolak khilafah, tapi khilafahlah yang tertolak di negeri Pancasila ini," begitu antara lain benang merah yang saya tangkap dari apa yang disampaikan Ma'ruf Amin.

Dalam berbagai kesempatan Ma’ruf mengungkapkan keprihatinannya terhadap konflik sektarianisme di Timur Tengah yang hingga  kini tak kunjung berakhir. 

Dalam soal itu, Kiai Ma’ruf sangat bangga dengan Indonesia yang layak dicontoh oleh negara-negara Arab. Bayangkan, seluruh jazirah Arab,sebagaimana ditulis Ahmad Hifni dalam Islamramahdotco, total penduduknya 300 juta jiwa, tersebar di 16 negara, banyak persamaan kultur, agama, serta bahasa. 

Namun, faktanya peperangan tidak pernah berhenti di negeri-negeri itu. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki ratusan suku, ratusan bahasa, beda warna kulit, beda rambut, bahkan seluruh agama besar ada, justru tetap bersatu.

Ma’ruf mengatakan, realita itu terjadi karena negara-negara di Timur Tengah tidak memiliki konsesus moderat semacam Pancasila. Banyak negara di Arab, disebut Ma'ruf, tak bisa menciptakan solusi kesepakatan (wakharid wathaniyah) atas masalah kebangsaan.

Kegagalan mencari solusi kesepakatan tersebut berujung pada pertikaian yang tidak pernah selesai. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban atas keegoisan para pemimpin yang hanya ingin menang sendiri.

Di depan para caleg NasDem, Ma’ruf Amin kembali menegaskan bahwa Indonesia terbentuk karena kesepakatan. Jika kesepakatan dilanggar, akan terjadi perseteruan yang berujung kepada perpecahan bangsa. 

Untuk melaksanakan kesepakatan itu, harus ada take and give. Indonesia ada karena kesepakatan para tokoh bangsa dan tokoh agama. Jadi negara Indonesia adalah darul ahdi (negara kesepakatan), bukan darul Islam (negara Islam), bukan darul kufri (negara kafir), bukan pula darul harbi (negara perang).

Dari apa yang diungkapkannya, visi kenegaraan dan kebangsaan Ma'ruf Amin sudah selesai. Ia bukan kiai sembarangan.

Di luar itu, pandangan Ma'ruf Amin soal ekonomi, terutama ekonomi keumatan (syariah) ternyata juga luar biasa. Visi bagaimana menyejahterakan rakyat lewat jalur ekonomi  diungkapkan secara gamblang dan jelas oleh Ma'ruf di depan 575 caleg Partai NasDem.

Saya membayangkan, kelak jika ada debat kandidat cawapres, Ma'ruf pasti mampu mematahkan argumentasi cawapres koalisi sebelah yang mengukur kenegarawanan dan aksi "bela negara" dengan menukarkan harta kekayaannya berupa 1.000 dolar dengan rupiah.* 

Dikutip dari Mediaindonesia.com

*Gantyo Koespradono, Caleg DPR-RI Partai NasDem (Dapil 2 Jateng) 

Add Comment