Kritik Tanpa Data Bertujuan Memancing Emosionalitas
JAKARTA (14 September): Director For Presidential Studies
Decode yang juga pengamat komunikasi politik Universitas Gajah Mada (UGM)
Nyarwi Ahmad menuturkan, kritikan tanpa basis data yang kuat dari para elite
politik disinyalir bertujuan hanya untuk memancing emosionalitas lawan politik.
Kritikan yang tidak berdasarkan data dan fakta dinilai
efektif untuk menarik perhatian massa pendukung maupun lawan politik.
"Elite politik yang seperti itu kan tujuannya ingin
mendapatkan respons, pengaruh, kadangkala kritikan-kritkan atau argumen
berbasis data itu kurang menarik," tutur Nyarwi saat dihubungi dari
Jakarta, Jumat (14/9).
Nyarwi melanjutkan, argumen yang mengandung konten
emosionalitas cenderung memiliki daya tarik yang lebih tinggi. Tidak jarang
argumen-argumen tersebut pada kenyataannya sering dikaitkan dengan isu personal
antara tokoh satu dan tokoh yang lain.
"Kritikan lebih menyerang personalitas, tidak heran
jika kadang kritikan tersebut memancing emosi dari massa pendukung,"
tuturnya.
Nyarwi melanjutkan, elite politik yang berbicara tidak
berdasarkan data dan fakta dinilai sesungguhnya telah gagal menjadikan rasionalitas
sebagai pijakan membangun pendapat. Hanya bisa membangun opini dari elemen
personalitas yang kemudian berujung pada bahan saling olok di sosial media.
Terbaru, Partai NasDem telah melakukan somasi kepada mantan
Menko Kemaritiman Rizal Ramli (RR) karena dinilai telah melakukan fitnah dan
ujaran kebencian yang disampaikan oleh mantan
kepada Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh terkait kebijakan impor
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
NasDem menganggap RR
berbicara tanpa menggunakan data dan fakta yang valid.
Ketua DPP NasDem bidang Otonomi Daerah Syahrul Yasin Limpo
di Gedung DPP Partai NasDem Jakarta, Selasa, (11/9) menuturkan bahwa RR telah
melakukan fitnah keji yang tidak mendasar dan mengarah kepada pembunuhan
karakter seseorang. RR juga telah merendahkan martabat Presiden Indonesia Joko
Widodo karena menggambarkan seolah presiden mudah ditekan orang lain.
"Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh baik dalam
kapasitas sebagai ketua umum partai ataupun pribadi tidak pernah turut campur
dengan kebijakan impor yang dilakukan pemrintah, apalagi hingga ikut mengatur
atau mengambil keuntungan dari impor," papar Syahrul.
Sementara itu, di tempat terpisah budayawan Radhar Panca
Dahana, mengingatkan peyelenggaraan pemilu termasuk pilkada belakangan kerap
didominasi oleh pandangan politik
ekonomi, dan hukum yang bersifat reaktif dan pragmatis. "Jika tujuannya
untuk menghadirkan pilkada yang baik dan
benar, perspektif kebudayaan juga harus
digunakan," tambah Dahana.
Pandangan ini juga penting untuk memahami politik identitas.
Pasalnya menurut Dahana, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap
bangsa.
Namun di Indonesia, identitas yang berlaku tidak bersifat kompetitif dan segregatif.
Sebaliknya, pembentukan identitas di negeri ini
itu bersifat intra-kultural, melebur dan silang-budaya. Artinya, setiap
insan tidak hanya membutuhkan kehadiran orang lain, tetapi juga mau menerima
kelebihan dan kekurangan, bahkan menyerap identitas kebudayaan suku- bangsa
yang berbeda.
Dengan pandangan itu, kehadiran politik identitas dalam
pilkada seharusnya dirayakan dengan damai, bukan malah menimbulkan konflik
dalam masyarakat. (Uta)