Hoax tentang Indonesia Disebar Sebelum Merdeka
JAKARTA (16 November): Politisi muda NasDem Shofwim Shofwan menuturkan penyebaran kabar bohong atau hoax ternyata sudah berlangsung sejak masa Indonesia belum merdeka. Bedanya dengan hoax masa kini yang disebarkan provokator, hoax masa lalu justru disebarkan para pahlawan.
Di era kemerdekaan, hoax kerap dipakai untuk memperdayai yakni membuat orang percaya atau menerima sesuatu yang salah atau tak masuk akal sebagai kebenaran.
"Dengan definisi itu, sebenarnya para penggerak kemerdekaan sebenarnya adalah para penyebar hoax. Mereka sebarkan hoax Indonesia jauh sebelum Indonesia itu sendiri ada," kata Shofwim Shofwan, di Jakarta, Jumat (16/11).
Hoax yang dilakukan pahlawan kala itu di antaranya yakni Pemuda Tan Malaka yang sudah bicara 'Republik Indonesia' pada tahun 1925. Saat itu tidak ada yang membayangkan ada sebuah negara bernama 'Republik Indonesia', tapi Tan Malaka sudah memikirkan konsepnya.
Disusul Pemuda Soekarno yang menyampaikan pidato pembelaan di pengadilan berjudul 'Indonesia Menggugat' di tahun 1930.
"Bisa dibayangkan, puluhan tahun sebelum Indonesia itu resmi ada, mereka sudah menyebarkan hoax 'Indonesia'. Sebuah hal tak masuk akal di tahun 1920-an, di tahun 1945 terbukti bisa dilakukan.
Mungkin inilah yang disebut seorang pejabat sebagai hoax membangun," ungkapnya.
Namun lanjutnya, saat ini bangsa Indonesia justru banyak dihadapkan dengan hoax yang justru mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni hoax yang mengganggu harmoni antar suku, agama, atau yang berbeda pilihan politik.
"Problemnya semata-mata bukan pada orang-orangnya, ada problem teknologi. Jika Tan Malaka menulis hoax 'Republik Indonesia' dalam bentuk sebuah buku, kini si Badu menulis hoax yang menghina satu kelompok orang dengan bentuk tulisan pendek di media sosial," ungkapnya.
Ketika zaman sebelum kemerdekaan, Tan Malaka menulis secara panjang lebar dan teoritis lalu buku dicetak terbatas sehingga tak banyak orang bisa membaca langsung. Sekarang, si Badu asal njeplak saja dan itu pun hoax, bisa dibaca puluhan ribu orang dalam beberapa jam.
"Hal ini terjadi karena, di era media sosial ini, semua orang bisa jadi media. Ketika semua orang bisa jadi media, semua orang bisa menyebarkan apa saja isi pikirannya," ujarnya.
Saat ini, pilihannya tergantung pada masyarakat. Apakah masyarakat akan mengeluarkan unggahan yang positif, tidak berisi ujaran kebencian atau malah fitnah.
"Seorang pemimpin yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan pendapat tentu harus mempertimbangkan ini. Jangan sampai justru pemimpin, apakah itu di perusahaan, partai politik, dan lembaga negara, yang menyampaikan ujaran kebencian," kata pria yang akrab disapa Opim itu.
Dia mengingatkan, seorang pemimpin haruslah berpikir laksana seorang pahlawan yang memperjuangkan dengan tulus masyarakat dan bangsa. Trust dan respect haruslah menjadi nilai-nilai kepahlawanan yang dipertahankan.
"Sekarang para pemuda tinggal memilih, apakah ikut menjadi bagian dari masalah hoax dan ujaran kebencian atau menjadi seorang pemimpin yang memperjuangkan masyarakat dan bangsa," pungkasnya.(*)