Alasan NasDem Tolak Revisi UU BUMN
JAKARTA (11 Desember): Fraksi Partai NasDem menegaskan menolak rencana revisi Undang-Undang BUMN. Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad M Ali menuturkan revisi UU BUMN tidak saja menabrak norma hukum secara yuridis di satu sisi, tetapi juga potensial mematikan gerak dinamis BUMN secara bisnis di sisi lain.
Pria yang juga menjabat sebagai Bendahara Umum Partai NasDem tersebut menuturkan perevisian UU BUMN memiliki indikasi dimasuki agenda dan kepentingan politik subjektif yang terasa sangat kental.
"Sejatinya Fraksi NasDem dapat memahami nilai penting revisi UU BUMN untuk menyesuaikan kembali sejumlah hal strategis dalam kinerja, postur dan kinerja BUMN. Tetapi dalam perjalanannya, NasDem menilai bahwa DPR sudah terlalu jauh melenceng dari semangat awal RUU BUMN itu diajukan," kata Ahmad, Selasa (11/12).
Menurutnya, ada sejumlah alasan mendasar dan krusial yang membuat Fraksi NasDem menyorot keras rancangan revisi UU BUMN. Pertama, DPR sebagai lembaga representasi rakyat seharusnya lebih peka dan mengindahkan kritik publik atas kinerja DPR. Tidak saja soal kuantitas regulasi, tetapi terutama kualitas regulasi yang dihasilkan.
"NasDem memandang sejumlah aturan yang diusulkan dalam RUU BUMN sudah terlalu jauh masuk pada domain eksekutif. Otomatis hal tersebut menabrak norma hukum yang berlaku, sehingga potensial di tolak oleh Mahkamah Konstitusi," paparnya.
Kinerja legislasi DPR yang kurang baik dalam merancang UU akan berdampak pada kredibilitas kinerja DPR di mata publik. Publik akan menilai bahwa DPR tidak bisa menghasilkan UU yang berkualitas.
Ahmad Ali mencontohkan tentang kewenangan DPR dalam ikut menentukan keputusan terkait aksi korporasi BUMN. Aksi korporasi seperti yang sejatinya merupakan kalkulasi bisnis rasional harus mendapat persetujuan DPR, dan setelahnya baru dapat dibuat menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Padahal dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, DPR tak berwenang dalam hal pembentukan peraturan pemerintah.
"Kewenangan DPR yang terlampau besar dalam urusan BUMN ini membawa komplikasi yang ruwet, di mana perkara yang murni bisnis menjadi perkara politik," katanya.
Di sisi lain, besarnya kewenangan DPR yang berdampak pada pergeseran urusan bisnis menjadi perkara politis, ini otomatis akan menjerat langkah BUMN sendiri untuk bergerak lebih dinamis dalam kinerjanya sebagai korporasi. Ekspansi bisnis, bahkan oleh anak-anak perusahaan BUMN sendiri, akan terinterupsi oleh perdebatan politis di DPR.
Selain itu, besarnya kewenangan DPR tersebut juga membawa komplikasi tersendiri kepada DPR. Karena pengertian BUMN dalam RUU tersebut adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara, baik melalui penyertaan langsung dan tak langsung, berasal dari APBN maupun non-APBN, maka perusahaan yang berstatus anak perusahaan BUMN akan beralih menjadi BUMN.
"Bisa dibayangkan, besarnya kewenangan DPR dalam kondisi peralihan status anak-anak perusahaan BUMN yang berubah menjadi BUMN yang jumlahnya ratusan itu. DPR sedang buat jebakan untuk dirinya sendiri jika DPR memiliki kewenangan untuk memilih dewan direksi dan komisaris untuk BUMN yang jumlahnya ratusan itu," katanya.
"Bisa-bisa DPR akan habis waktunya hanya untuk memilih dan menentukan direksi dan komisaris BUMN saja," imbuhnya.
Ahmad Ali menambahkan, pergeseran urusan bisnis menjadi urusan politik juga membuka peluang terjadinya aksi berburu rente (rent seeking), yang berdampak pada BUMN kembali menjadi sapi perah seperti di masa-masa sebelumnya.
"Jadi, atas dasar itu dan terutama menyelamatkan marwah DPR sendiri sebagai lembaga, Fraksi NasDem dengan tegas menolak RUU BUMN," tukas Ahmad Ali. (*)