Divestasi Vale (Kembali)!
Oleh: Ahmad HM Ali
“I have a dream…” Akhir Agustus 1963, dari tangga Lincoln Memorial, Martin Luther King, Jr. menyerukan kesetaraan dan diakhirinya diskriminasi atas warga kulit hitam di Amerika Serikat. Enam belas tahun kemudian (1979), personil ABBA Björn Ulvaeus dan Benny Andersson menciptakan lagu dengan judul yang sama. Pidato Marthin Luther King, Jr dan lagu ABBA sama-sama monumental dan legendaris. Pidato Marthin Luther King, Jr tidak saja menjadi salah satu pidato terhebat sepanjang masa, sekaligus mencapai takdirnya dengan berakhirnya diskriminasi kulit berwarna di AS. Sedangkan lagu I Have a Dream makin mengokohkan ABBA sebagai salah satu musisi daratan Eropa paling mashur di dunia.
Terinspirasi dari keduanya, saya (pun) memiliki impian: Indonesia yang berdaulat atas kekayaan alamnya. Salah satu perwujudan yang terbilang penting adalah divestasi saham PT. Vale Indonesia (VI) – menyusul keberhasilan divestasi PT. Freeport Indonesia – yang menempatkan Indonesia sebagai pengendali utama. Sebuah mimpi yang sejatinya sederhana, karena nasionalisasi terhitung berat terealisasi. Masih sebatas mimpi? Senarai panjang faktanya berkata demikian.
Lebih dari setengah abad, Vale – dulu bernama INCO – telah mengkstraksi nikel di daratan Sulawesi. Di bawah rezim Kontrak Karya (KK) dengan penguasaan saham yang dominan, operasi Vale telah menempatkannya menjadi salah satu maskapai tambang nikel nomor wahid. Indikatornya, Vale menyumbang lima persen pasokan nikel dunia. Dengan sizesedemikian, Vale memiliki pengaruh signifikan dalam dinamika komoditas nikel global.
Kendati dikesankan sebaliknya, durasi operasi Vale yang sudah sedemikian panjang ini tentu bukan kisah yang mulus tanpa noda: dari konflik antara masyarakat dan perusahaan hingga isu kerusakan lingkungan. Keterbatasan ruang tidak memungkinkan untuk menjabarkan satu per satu, namun tulisan ini setidaknya ingin menunjukkan noktah yang terbilang mendasar. Pertama, yang paling telanjang secara politik-hukum adalah Kontrak Karya itu sendiri. Dibawah rezim dan relasi perikatan Kontrak Karya, perusahaan dan negara diposisikan setara. Ini relasi yang tidak wajar, karena negara – yang merepresentasi rakyat Indonesia – adalah pemilik sah tanah air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang sudah sepatutnya berposisi lebih tinggi dari korporasi sebagai pengelola. Fenomena ini berimplikasi luas: berkali-kali pihak korporasi diberi perpanjangan KK dengan klausul yang lebih condong menguntungkan pihak korporasi tambang, membuat kesan publik bahwa negara lemah dihadapan korporasi pertambangan mendapat justifikasi. Vale adalah salah satunya. Kesan lemahnya negara saat berhadapan dengan Vale tak terhindarkan, salah satunya tercermin dari renegosiasi Kontrak Karya generasi kedua – saat itu masih bernama Inco – yang justru menurunkan besaran pajak penghasilan dari 45% pada KK sebelumnya menjadi 30%.
Kedua, dari sisi ekonomi-fiskal, berupa manipulasi yang dapat berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara, baik berupa pajak maupun royalti. Sepanjang 2018 kontribusi sektor minerba bagi penerimaan negara memang telah melampaui target, dari Rp32,1 triliun yang dipatok dalam APBN dan telah terealisasi sebesar Rp39 triliun. Hal ini dipicu oleh membaiknya harga komoditas, khususnya harga komoditas mineral. Tetapi fakta general ini tak mampu menyembunyikan fakta spesifik dalam praktek pertambangan yang tak secerah perkiraan. Apakah kontribusi maskapai pertambangan asing seperti Vale telah wajar dan pantas buat negara? Jawaban dari pertanyaan ini dapat beragam. Pertimbangkanlah fakta ini: sepanjang lima tahun terakhir sejak 2013-2017, total penjualan – atau dalam istilah yang digunakan Vale pengiriman – selalu lebih besar ketimbang total produksi Vale sendiri. Jika dirata-ratakan mencapai 1.222 ton, dan yang terbesar pada tahun 2015 yang mencapai 1.730 ton, bersamaan dengan momentum produksi Vale mencapai tingkat tertingginya sebesar 81.177 ton. Vale kerap berdalih bahwa total penjualan tersebut untuk mengimbangi penurunan harga, tetapi kenyataan serupa telah menjadi kecenderungan lama; telah tertera pada 2011 pada saat harga komoditas mineral global mencapai titik tertingginya. Hal ini belum lagi ditambah fakta lain berupa semua produksi nikel Vale dijual kepada entitas induk, Vale Canada sebanyak 80% dan 20% sisanya kepada Sumitomo, masing-masing dengan kepemilikan saham dominan sebesar 58,73% dan 20,1%. Praktik yang menyerupai insider trading ini, selain dapat berdampak pada ketidakseimbangan informasi kepada pelaku pasar, juga berpotensi pada manipulasi dan ketidakuratan informasi yang berpotensi hilangnya penerimaan negara. Di sisi lain, fakta ini membuat isu tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) lebih condong sekadar lips servicebahkan omong kosong semata.
Ketiga, secara sosial-budaya yang juga tak kalah penting adalah enclosure, konflik dan pengabaian hak-hak masyarakat sekitar area konsesi. Fenomena ini telah banyak mendapat ulasan dan dipublikasikan secara luas. Vale sendiri telah menetapkan agenda untuk menjadi korporasi berbiaya rendah, yang dapat dibaca sebagai pengurangan biaya secara signifikan, termasuk didalamnya biaya sosial yang ditujukan kepada masyarakat sekitar wilayah konsesi. Pemerintah Daerah penghasil sendiri nyaris tak memiliki kapabilitas untuk melakukan advokasi hak-hak masyarakat, karena tak memiliki alas hukum yang memadai. Jika biaya sosial dan lingkungan dari operasionalisasi Vale ikut diperhitungkan, maka kalkulasi antara manfaat dan mudharat bisa cenderung negatif.
Ringkasnya, ketiga noktah kelabu praktik ekstraksi nikel Vale ini berakar pada Kontrak Karya, yang berimplikasi pada lemahnya posisi negara karena bukan entitas pengendali utama.
Tahun 2014 lalu, energi bangsa tersita oleh perhelatan politik Pemilu dan Pilpres. Boleh jadi karena itu, isu Amandemen Kontrak Karya PT Vale luput dari perhatian publik di satu sisi, selain penyelenggaraannya yang cenderung tertutup. Dalam prosesnya sendiri, Vale menunjukkan sikap kurang kooperatif. Hampir dua tahun sejak diundangkan, pihak Vale tak kunjung maju ke meja perundingan.
Pun, ketika Amandemen KK akhirnya disepakati, lagi-lagi menunjukkan kuatnya mental inlandermendera kita, khususnya pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam urusan ini. Hal itu setidaknya tercermin dari: pertama, lunaknya sikap atas kepentingan divestasi yang notabene paling penting dan strategis. KK Amandemen hanya mewajibkan pelepasan saham 20% kepada publik. Lagi-lagi kita lupa pada sejarah. Sebelumnya, Vale telah melepaskan 20% sahamnya kepada publik. Tapi apa lacur, dalam praktiknya apa yang dinamakan ‘publik’ itu tetap didominasi oleh pihak swasta asing. Sebagaimana tercantum dalam laporan resmi Vale sendiri, sebagian besar saham publik itu dimiliki oleh swasta asing yang berkedudukan di luar negeri seperti Platinum Asia Fund, GIC Singapore, Citibank New York, NT SST Co, Vale Japan Limited, The Manufactures Life INS, BBH Boston, AIA, Prudential Life Assurance. Padahal dalam UU Minerba baru dan regulasi turunannya, khususnya PP nomor 24 tahun 2012, jelas termaktub bahwa divestasi saham wajib diberikan secara berjenjang kepada peserta Indonesia; Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kab/Kota, BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional. Hingga saat ini, Vale tak kunjung menawarkan saham kepada pihak Indonesia, sehingga peluang untuk terjadinya pemberian saham Vale kepada pihak asing berpeluang terulang kembali.
Kedua, Amandemen KK juga menyebutkan bahwa pembayaran royalti dinaikkan dari 0,9% menjadi 2%, dan menjadi 3% jika harga nikel menyentuh USD21.000 per ton. Klausul ini berpotensi akal-akalan semata. Bahkan pada saat booming komoditas dimana harga komoditas mineral mencapai titik tertingginya pada 2011, harga Nikel dunia tak menyentuh level USD21.000. Angka ini terlalu tinggi dan tak mengacu pada konteks faktual harga komoditas nikel sepanjang sepuluh tahun terakhir, yang ditandai oleh berakhirnya era boomingkomoditas.
Kegagalan agenda divestasi ini akan mempersulit desakan agenda strategis lainnya, seperti perbaikan penerimaan negara atau komponen dalam negeri (TKDN), peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang lebih baik.
Inilah saatnya untuk menimbang ulang status KK Amandemen Vale. Selain hingga saat ini Vale tak kunjung menawarkan saham 20% kepada pihak Indonesia, realisasi pembangunan smelter di Bahodopi dan Pomalaa juga tersendat. Terkait pembangunan smelter di Bahodopi, Pemda Sulteng telah lama mengajukan diri, namun tak digubris serius. Hal ini cukup untuk menjadi basis pijak untuk memaksa pihak Vale berunding kembali dan mempercepat agenda perubahan status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang termasuk didalamnya divestasi saham 51% kepada pihak Indonesia.
I have a dream, menyusul Freeport, Vale kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi!
*Ahmad HM Ali adalah Bendahara Umum Partai NasDem