Memaknai Ziarah Surya Paloh di Makam Bung Karno

Oleh: Nico Ainul Yakin

TRADISI ziarah ke makam seseorang yang telah meninggal dunia, lahir dari sebuah nilai yang diyakini sebagai anjuran agama bahkan disebutkan sebagai bagian dari syariat agama berdasarkan landasan normatif (Al-Quran-Hadits) yang berkolaborasi dengan nilai sosio-kultural masyarakat, lalu membentuk dan mendominasi cara pandang beragama mereka.

Tulisan mengenai praktek keagamaan masyarakat lokal di Indonesia cukup banyak ditemukan. Clifford Geertz menyimpulkan tentang tipologi masyarakat Jawa dalam tiga kelompok besar yaitu abangan, santri dan priyayi. Dari sini kemudian melahirkan sebuah kajian antropologis dari Andrew Beatty dengan teori sinkretisnya. Kajian Beatty ini disebut sebagai kajian yang melengkapi hasil penelitian Geertz.

Pada bagian lain Mark R. Woodward dalam penelitiannya menyebutkan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan mayoritas umat Islam Indonesia bukanlah sekadar Islam sinkretis tetapi Islam kontekstual dan berproses secara akulturatif dengan budaya masyarakat lokal yang berkembang secara turun temurun sebelum masuknya ajaran agama (Islam) ke negeri ini. Keduanya akhirnya berjalan seiring dan saling mengisi antara nilai-nilai agama dengan budaya lokal. 

Kesimpulan dari penelitian di atas merupakan hasil kajian melalui teori konstruksi sosial dengan cara pandang yang berbeda, tetapi tidak meninggalkan konsepsi dasar tentang praktek keagamaan yang merujuk kepada al-Quran-Hadits. Dengan begitu maka praktek keagamaan yang berkembang di masyarakat muslim nusantara jangan dilihat hanya sebelah mata, apalagi distigmakan sebagai perbuatan bidah, musyrik atau bahkan mengkafirkannya — perlu kearifan cara pandang yang lebih komprehensif  karena faktanya ada proses dialektika yang menyertai praktek beragama yang diyakini kebenarannya.

Salah satu tokoh Sunni, Muhammad Ibnu Alawi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tusahhaha membahas dua konsep yang mengiringi praktek ziarah sehingga masyarakat terdorong untuk berziarah ke beberapa tempat atau makam yang dianggap keramat dan dimuliakan — dua konsep tersebut adalah konsep tawassul (berwasilah) dan konsep tabarruk (mengharap barakah).

Pertama, tawassul adalah salah satu metode bersikap rendah diri kepada Allah Swt. Sementara wasilah diartikan setiap sesuatu yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai sebab untuk mendekati-Nya di satu sisi dan sebagai pintu masuk agar segala keinginan manusia terkabulkan di sisi yang lain. Kedua, tabarruk berarti berharap untuk mendapatkan barakah, dalam konsep kultur muslim tradisional (Jawa) disebut dengan istilah ngalap berkah. Pengertian tabarruk ini hampir mirip dengan istilah wasilah di mana ujungnya adalah agar seluruh permohonannya dikabulkan oleh Allah Swt.  

Surya Paloh ke Makam Bung Karno

Ziarah ke makam para leluhur, para wali, ulama, dan tokoh-tokoh istimewa yang dihormati merupakan salah satu tradisi yang berlangsung secara turun temurun mengiringi ritus-ritus keagamaan mayoritas umat Islam di Indonesia, khususnya kaum nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama). Bahkan penganut agama lain pun tidak sedikit yang memaklumkan ziarah ke makam leluhur sebagai bagian dari tradisi mereka.

Pemandangan ini dapat kita lihat di sejumlah makam tokoh yang dihormati, seperti makam Gus Dur, dan makam-makam para wali — peziarah yang datang ke sana tidak hanya berasal dari kalangan umat Islam, tetapi juga umat Kristiani dan penganut agama lain. Mereka melakukan ritual sesuai dengan tata cara beragama mereka.

Di Jawa Timur banyak sekali tempat atau makam yang menjadi tujuan ziarah masyarakat, antara lain makam Wali Songo. Ada lima wali yang jasadnya dimakamkan di Jawa Timur, yaitu Raden Rahmat Rahmatullah – Sunan Ampel (Surabaya), Maulana Malik Ibrahim — Sunan Gresik (Gresik), Raden Muhammad Ainul Yaqin – Sunan Giri (Gresik), Raden Qosim – Sunan Drajad (Lamongan), dan Maulana Maqdum Ibrahim – Sunan Bonang (Tuban).

Tempat-tempat lain yang juga ramai dikunjungi peziarah, yaitu makam Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid — Gus Dur, dan para pendiri NU di Jombang, Syaikh Jumadil Kubro di Mojokerto, dan lain-lain. Selain tempat-tempat di atas, makam Bapak Proklamator – Presiden Pertama RI,  Bung Karno juga menjadi tujuan ziarah yang juga ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai kalangan, terutama elite politik negeri ini.

 

Ketika melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur, tepatnya pada 8 Februari 2019 tokoh sentral Partai NasDem Surya Paloh berziarah ke makam Bung Karno. Kedatangannya didampingi Sukmawati Soekarnoputri, putri Bung Karno dan beberapa petinggi NasDem, seperti Johnny G Plate (Sekjen), Effendy Choirie (Ketua Bappilu), Willy Aditya (Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik), Hasan Aminuddin (Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat), Sri Sajekti Sudjunadi (Ketua Partai NasDem Jawa Timur), dan lain-lain.

Berziarah ke makam Bung Karno bukanlah kali pertama yang dilakukan tokoh politik nasional asal Aceh ini. Jauh sebelum berziarah ke makam Bung Karno, Ketua Umum Partai NasDem ini juga pernah berziarah ke makam-makam lain yang dihormati oleh masyarakat Jawa Timur, seperti makam Waliyullah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Gus Dur, Mbah Hasyim Asyari dan makam para pendiri NU lainnya.

Bagi Surya Paloh praktek keagamaan seperti ini bukan sekadar tradisi, tetapi sebuah keyakinan dan nilai spiritualitas yang melekat pada dirinya sebagai seorang muslim yang meniscayakan  belajar kepada tokoh-tokoh di masa lalu yang telah banyak berkorban, memberikan sumbangsih kepada masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. 

Makna di balik Ziarah Surya Paloh

Di tahun politik ini, tidak sedikit orang mempertanyakan tentang makna di balik kegiatan elite politik yang rajin berziarah ke makam leluhur, termasuk ke makam Bung Karno. Ada yang mengatakan sebagai pencitraan (al-Martabatiyah) dengan tujuan pragmatisme politik. Ada pula yang menyebutkan sebagai bentuk penghormatan kepada pribadi tokoh yang telah wafat (al-Takrimiyah). Juga ada yang mengaitkan dengan keteladanan dan pelajaran yang telah diberikan tokoh-tokoh terdahulu untuk dijadikan spirit perjuangannya di masa kini dan akan datang (al-itibar wal Ibrah). Tetapi ada pula yang tidak mengaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan keinginan-keinginan manusiawi semata melainkan (hanya) untuk mendoakannya.

Dalam konteks ini saya mencoba memaknai ziarah Surya Paloh ke makam Bung Karno dengan realitas subyektif dan obyektif dari sosok Surya Paloh sebagai umat Islam, politisi dan sebagai warga bangsa.

Sebagai umat Islam yang lahir dan besar di tanah rencong Aceh Darussalam, Surya Paloh sudah akrab dengan tradisi keagamaan lokal yang berkembang di tanah kelahirannya, termasuk tradisi ziarah kubur. Mayoritas umat Islam di Aceh memiliki cara pandang yang bersinggungan dengan teks-teks normatif serta interpretasi ulama terdahulu yang memaklumkan ziarah kubur sebagai bagian dari perintah syariat. Sehingga (hampir) tidak ada perdebatan yang berarti mengenai tradisi ziarah kubur. Tradisi ziarah kubur biasanya dilakukan secara berjamaah maupun sendiri-sendiri oleh orang-orang Aceh di makam leluhur, ulama, para raja dan kaum bangsawan.

Surya Paloh memang bukan seorang muslim dengan tipikal santri, tetapi pemikiran keagamaannya sangat substantif dan tidak mengikuti alur pikir tekstualis-skriptualis yang cenderung  menolak praktek keagamaan lokal. Ia mampu menangkap substansi nilai ke-Islaman yang rahmatan lil alamin, yakni Islam yang kehadirannya mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam. Ajaran Islam dalam konteks ini bukanlah hal baru dalam sejarah, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam mulai abad klasik dan abad pertengahan. Keyakinannya tentang hal itu kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sosialnya. 

Sebagai seorang politisi ternama, ziarah Surya Paloh Paloh di makam Bung Karno merupakan bentuk penghormatan (al-Takrimiyah) dan sekaligus memiliki makna keteladadan dan pelajaran yang mulia (al-itibar wal Ibrah) untuk dijadikan motivasi dalam peran-peran ketokohannya. Bagi Surya Paloh, pencitraan (al-Martabatiyah) adalah bukan pada tempatnya, karena Ketua Umum Partai NasDem itu bukan calon presiden dan wakil presiden, bukan pula sebagai calon legislatif atau tokoh yang diliputi ambisi politik pragmatisme.

Bagi Surya Paloh ziarah ke makam tokoh yang telah wafat adalah salah satu praktek beragama yang memiliki  makna moral penting — Makna moral dalam kaitan ini adalah kemerdekaan yang telah dipersembahkan oleh Sang Proklamator kepada segenap bangsa Indonesia agar dipelihara dan dilanjutkan dengan capaian-capaian yang lebih baik. Selain itu, ketokohan Bung Karno harus diletakkan sebagai inspirasi dan motivasi untuk Indonesia yang lebih maju, berkembang dan modern.** 

 *Nico Ainul Yakin;  Wakil Ketua Bidang OKK dan Sekretaris Bappilu Partai NasDem Jatim.

Add Comment