Menghitung Hari Jelang Pemilu Serentak
Oleh Gantyo Koespradono
PILEG dan pilpres yang dijadikan satu paket dalam Pemilu Serentak 2019 tinggal menghitung hari. Gaung pileg tak begitu terasa dibanding pilpres.
Di darat dan di udara, kedua kubu pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno terus melakukan serangan informasi.
Kubu yang satu menyerang dengan informasi positif (hasil kerja) dan kubu yang lain melakukan serangan balik dengan informasi negatif dan cenderung merusak.
Di darat misalnya, ada pasukan perempuan yang dikerahkan mengindoktrinasi warga yang lugu dengan informasi sesat bahwa jika ada salah satu capres yang menang, maka suara azan tidak lagi berkumandang, LBGT dilegalkan, dan perempuan dilarang berhijab.
Di tempat lain, lewat gerakan door to door, emak-emak menghasut warga agar tidak memilih capres petahana sebab jika ia menang, maka pendidikan agama tidak lagi diajarkan di sekolah.
Itu sekadar contoh yang kelihatan dan ketahuan. Yang tidak ketahuan tentu lebih banyak lagi. Belum lagi para penceramah yang memanfaatkan tempat ibadah untuk berpolitik agar jangan memilih capres yang popularitasnya luar biasa tersebut.
Di udara, mereka yang mengklaim sebagai "pakar", pengamat, wartawan atau mantan wartawan, penggiat medsos dan penyandang atribut lain terus memproduksi "analisis" lewat tulisan — bahkan sampai bersambung — yang (maaf) lebih membuat kita yang waras tertawa terbahak-bahak daripada mengernyitkan dahi, apalagi sampai emosi.
Isu yang diusung lagi-lagi usang, seperti rakyat kesulitan mencari pekerjaan karena serbuan tenaga kerja asing dari China, ekonomi yang makin melemah, bangkitnya PKI, presiden yang dianggap bodoh, dan isu-isu yang satu sama lain dipaksakan untuk dikaitkan atau dihubung-hubungkan.
Belakangan ada pula yang tidak percaya bahwa beberapa hari lalu Presiden Jokowi naik commuter line dari Stasiun Tanjung Barat ke Bogor. Dengan begitu meyakinkan mereka menyebarluaskan informasi lewat foto bahwa apa yang dilakukan Jokowi adalah tipu-tipuan.
Serangan darat dan udara dengan mesiu informasi seperti itu sengaja dilakukan untuk mengelabui warga masyarakat yang mungkin dianggap bodoh dan sedang atau ikut-ikutan mabuk agama.
Semakin mendekati Pemilu Serentak 2019, terutama pilpres, saya menduga, ada pendukung salah satu capres yang sengaja memutuskan urat malu karena 2019 adalah kesempatan terakhir untuk memperebutkan kekuasaan, sehingga cara apa pun dihalalkan, termasuk mengeksploitasi agama.
Tak bisa dimungkiri ada sekelompok orang dan ormas, bahkan partai politik di negeri ini yang memanfaatkan Pilpres 2019 untuk menegakkan ideologi di luar Pancasila.
Sebaliknya, ada pihak yang punya keyakinan bahwa jika mereka yang menang, dijamin mereka-lah yang paling mampu menghancurleburkan kelompok yang ingin mendeklarasikan NKRI tanpa Pancasila.
Orang awam dengan mudah menyimpulkan bahwa faksi-faksi yang ada di sana saling mendompleng. Mereka pun diam-diam menyusun kekuatan yang tujuannya "menang untuk mengalahkan yang punya andil meraih kemenangan."
Di luar ontrang-ontrang politik kepentingan itu, Partai NasDem terus konsisten dengan tekad yang telah dicanangkan, yaitu "Jokowi Presidenku dan NasDem Partaiku".
Dengan semangat bertempur yang tinggi dan modal political cost (dana politik) yang pas-pasan caleg DPR-RI dari NasDem di Dapil Jateng VI, Sri Kristiana misalnya, terus menyambangi masyarakat.
Bekerja sama dengan caleg DPRD di sana, Kristiana mampu mengumpulkan massa, berkampanye untuk Jokowi dan tentu bagi kemenangan dirinya dan NasDem.
Ia sadar jika pada Pileg 2019, NasDem tidak mendapat minimal 100 kursi di Senayan, maka kemenangan yang diperoleh tidak akan ada gregetnya.
Di tengah maraknya fitnah dan hoaks, selayaknya keluarga besar Partai NasDem, terutama para caleg menjaga stamina, kata dan laku.
Kita perlu sadari, diakui atau tidak, ada pendukung capres tertentu yang sampai sekarang terus menerus menebarkan kebencian terhadap capres nomor 01 yang didukung NasDem. Itulah "modal politik" dan "modal sosial" mereka.
Kita berbuat baik saja dibenci dan dicari-cari kesalahan kita, apalagi jika kita melakukan kesalahan, baik dalam berkata-kata atau berperilaku. Jika ini yang terjadi, maka mereka pasti akan bersuka cita.
Selamat menghitung hari.[]
Penulis adalah caleg DPR-RI Partai NasDem Dapil Jateng II (Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara)