Fitnah dalam Politik
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Oleh Amato Assagaf
KENAPA saya sakit hati dengan fitnah terhadap Jokowi? Ada begitu banyak jawaban yang bisa saya berikan tapi saya hanya akan mengemukakan beberapa di antaranya yang saya anggap layak untuk dibagi bersama.
Pertama, fitnah yang digunakan secara massif sebagai amunisi politik adalah penghinaan yang luar biasa terhadap akal budi bangsa kita. Dalam konteks ini, fitnah terhadap Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai salah satu politisi puncak di Republik ini, tentunya adalah penghinaan terhadap kecerdasan berpolitik bangsa ini secara keseluruhan.
Ada asumsi yang begitu busuk dari para produsen fitnah ini bahwa informasi politik bangsa ini bisa dan harus dikendalikan lewat cara-cara lancung. Asumsi ini mencakup pandangan bahwa anak bangsa Indonesia tak punya akal budi untuk membedakan antara yang baik dengan yang buruk, setidaknya dalam isu-isu politik.
Kedua, dengan menghasilkan dan memanfaatkan fitnah, mereka jelas berangkat dari anggapan bahwa anak bangsa kita tidak memiliki moralitas politik. Atau, diucapkan dalam cara lain, mereka tidak menghormati moralitas politik bangsa kita.
Dalam rumusan apapun, moralitas politik akan menolak penggunaan fitnah sebagai amunisi untuk menyerang lawan politik. Bahkan dalam pertimbangan yang paling pragmatis sekalipun, hantaman terhadap moralitas politik demi kepentingan sesaat akan meruntuhkan pilar penyangga rasionalitas politik yang menjadi penjamin bagi dinamika politik pragmatis itu sendiri.
Maka fitnah yang ditujukan kepada Jokowi, secara konsisten, logis untuk dinilai sebagai serangan terhadap moralitas politik bangsa secara keseluruhan. Dan bahayanya, seperti yang telah saya singgung, hal itu akan meruntuhkan dinamika politik bangsa.
Artinya, dan ini alasan yang ketiga kenapa saya sakit hati, fitnah kepada Jokowi tidak hanya akan membunuh Jokowi tapi juga meruntuhkan seluruh kultur politik yang ideal di dalam Republik ini. Penjelasan sederhananya, kejahatan ini akan diserap oleh sistem kultural politik kita dan kemudian dibenarkan hanya oleh fakta bahwa hal itu sudah pernah dilakukan.
Contoh untuk penjelasan di atas adalah berlakunya kultur politik uang dalam sistem politik kita. Hingga tingkat tertentu, kebusukan pola ini, di alam tak sadar, telah diterima sebagai fakta tak tertolak. Dalam kasus ini, politik uang telah dianggap bagian dari kultur politik kita dan, karenanya, bisa dibenarkan.
Penggunaan fitnah dalam politik, akan menjadi seperti itu jika kita tidak menanggulanginya sejak awal. Persoalan siapa yang menjadi sasaran fitnah kemudian menjadi tidak lagi penting karena dampak dari kejahatan ini jauh lebih buruk dari semata membunuh karakter satu orang.
Fitnah terhadap satu orang, dalam skema politik, adalah pembunuhan karakter terhadap seluruh bangsa. Dengan kata lain, fitnah terhadap Jokowi adalah pembunuhan karakter terhadap seluruh bangsa Indonesia.
Adapun semua penjelasan di atas hanya sedikit dari masih banyak alasan lain kenapa saya sakit hati. Dan saya merasa bertanggunjawab untuk berbagi rasa sakit hati ini dengan banyak orang lain karena kita memang harus sakit hati.
Lalu dengan rasa sakit hati itu, kita boleh berharap akan muncul dorongan dari dalam diri kita sebagai anak bangsa untuk melawan segala bentuk fitnah dalam politik. Termasuk, dan terutama, fitnah terhadap Jokowi.
Dan itu semua akan kita lakukan atas nama bangsa dan atas nama masa depan politik di Republik ini.
Manado, April 2019
Amato Assagaf, Caleg DPRD Provinsi Sulawesi Utara Dapil Manado Partai NasDem