Jangan Kapitalisasi Pekerja Seni Hanya untuk Rating dan Share

JAKARTA (4 September): Era industri saat ini telah memasuki komersialisasi yang berlandaskan apa yang disukai masyarakat, dengan tolak ukur rating maupun share. Bila faktor itu saja yang mempengaruhi industri seni maka hal tersebut bisa mematikan kreativitas dan mengeksploitasi pekerja seni.

"Contohnya saya pernah shooting dari jam 12 siang sampai jam 12 siang hari berikutnya, atau saya juga pernah shooting bersama anak kecil yang meninggal karena kelelahan walaupun sebelumnya anak itu sempat sakit. Ini bentuk eksploitasi untuk mengejar rating dan share," ungkap Lucky Hakim, pekerja seni, aktor dan anggota DPR RI periode 2014-2019, di acara Dialog Selasa yang digelar Partai NasDem di Auditorium DPP NasDem Jakarta, Selasa (3/9).

Lucky berpendapat, situasi seperti ini hanya mengejar keuntungan, karena yang dikejar hanya keuntungan ekonomi.

Tentang keterjaminan pekerja seni, Lucky mengatakan, masih banyak industri sinetron saat ini yang minim kepastian perlindungan hak-hak seluruh kru. Ini bisa dilihat dari kurang jelasnya kontrak kerja yang menyebabkan banyaknya pekerja yang diabaikan kesehatannya, tunjangannya dan kepastian hak-hak pekerja.

"Ini juga dampak dari regulasi yang belum sepenuhnya diterapkan sehingga mengakibatkan ketimpangan perkembangan yang tidak merata, terpusat pada industri besar seperti contohnya di Jakarta," terang Lucky. 

Mebyrut dia, permasalahannya sangat kompleks, karena pemusatan gerak perindustrian seni hanya di kota-kota besar dan mengakibatkan minimnya pemasukan bagi industri seni di daerah. Jadi perlu terjadi pemerataan.

"Bila regulasi ditegakkan, maka stasiun tv nasional mau tidak mau harus kerja sama dengan stasiun tv lokal, apabila ingin programnya ditonton masyarakat daerah. Dan pada akhirnya, stasiun tv lokal bisa mendapatkan pendapatan dari iklan," tutup Lucky.(*)

Add Comment