Soft Approach dalam Penanganan Terorisme
JAKARTA (16 Oktober): Hari ketiga Sidang Parlemen Dunia yang berlangsung di Berlgrad, Serbia, menghadirkan berbagai isu. Salah satunya adalah isu perdamaian dan keamanan internasional (Peace and Internasional Security). Salah satu yang menjadi sorotan dalam isu tersebut adalah mengenai terorisme.
Wakil dari Fraksi Partai NasDem Willy Aditya yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan tentang pentingnya penanganan terhadap terorisme.
Menurut dia, terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.
“Terakhir kasus yang menimpa Menteri Polhukam kami, Bapak Wiranto di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda, tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah menggunakan serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani,” ucapnya kepada partainasdem.id dari Belgard, Selasa (15/10).
Merujuk berbagai laporan yang masuk, tambah Willy, kawasan Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme.
Pasca kalahnya ISIS di Suriah, banyak para kombatannya, terutama yang berasal dari Asia, menjadi Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka.
“Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya,” imbuhnya.
Lulusan Cranfield University bidang Defends Studies ini juga menyampaikan tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan aksi terorisme. Salah satu bentuknya adalah tindak pencegahan yang dipayungi undang-undang.
Menurut Willy, pasca pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini.
“Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, dia bisa langsung ditindak,” ucapnya.
Ini yang membedakannya dengan payung hukum sebelumnya, bahwa Densus 88 baru bisa menindak ketika tindakan teror terjadi. Dengan payung hukum tersebut Densus 88 telah melakukan penangkapan terhadap anggota jaringan kelompok teror di berbagai wilayah di Indonesia.
Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.
“Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan-pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror,” papar Willy.
Tidak berhenti sampai di situ, adanya ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi, maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan prgram kontra radikalisme.
“Jadi mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana,” pungkasnya.
Selain terorisme, isu lain yang mengemuka dalam agenda tersebut adalah mengenai senjata nuklir dan money laundry.
Sidang Parlemen Dunia ke 141 di Belgrad yang menghadirkan anggota parlemen dari seluruh dunia itu akan berakhir pada Kamis (17 Oktober 2019) besok.(DS/*)