NasDem Bicara Radikalisme
JAKARTA (25 Oktober): Radikalisme yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) acap kali dilakukan dengan aksi-aksi teror, agar menimbulkan keresahaan secara massal di masyarakat.
Oleh karena fenomena tersebut, Partai NasDem menggelar diskusi dalam upaya menangkal radikalisme dan menjaga Indonesia, sebagai bahan pembahasan saat Kongres II Partai NasDem 8-11 November mendatang.
Hal itu diungkapkan oleh anggota DPR RI Periode 2014-2019 Fraksi NasDem Supiadin Aries Saputra. Supiadin menjelaskan bahwa radikalisme di Indonesia sudah ada sejak lama, bahkan pada saat awal kemerdekaan dengan munculnya DI-TII, Permesta dan lain-lainnya.
"Radikalisme jangan diidentikkan dengan agama, tapi radikalisme yang mengatasnamakan agama. Namun di belahan dunia lain radikalisme tidak pasti agama dengan agama. Maka harus ubah cara pikir kita, jangan sampai radikalisme itu identik dengan agama, karena tidak ada agama yang mengajarkan teror-teror dan semacamnya," ujar Supiadin saat menjadi narasumber diskusi Pra Kongres II Partai NasDem di Penang Bistro, Jakarta, Jumat (25/10).
Sebagai mantan jenderal, ia mengakui, penyebaran paham-paham radikalisme itu sangat masif melalui media sosial. Menurutnya, tanpa kontak langsung dan dengan menggunakan kecanggihan digitalisasi, ini merupakan perang anomali.
Karena masifnya medium-medium yang menjadi sarana penyebaran paham radikalisme juga diakui oleh pengamat pertahanan Jeleswari Pramodharwardhani.
Menurutnya, melihat kondisi saat ini pemerintah harus mengambil langkah yang tepat dengan memastikan pendidikan dalam upaya mengatasi redikalisme.
"Pendidikan Pancasila dan keberagaman bangsa ini, sangatlah penting untuk menangkal radikalisme. Terlebih dengan memperkuat literasi digital dalam mengantisipasi hoaks," ujarnya.
Supiadin mengajak masyarakat Indonesia untuk memahami kodrat bangsa Indonesia dengan keberagamannya. Maka dalam upaya antisipasi radikalisme, Supiadin Aries Saputra memaparkan, ada dua langkah, yaitu program kontra radikalisasi dan program deradikalisasi.
"Kontra radikalisasi khusus untuk masyarakat yang sudah terpapar radikalisme. Deradikalisasi, untuk masyarakat yang belum terkena radikalisme. Kedua subjek tersebut memiliki perbedaan cara pendekatanya," paparnya.
Mantan Bupati Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan Muchtar Luthfi A. Mutty mengungkapkan, peran penanganan radikalisme seharusnya dilakukan pemerintah daerah sebagai langkah awal.
"Kepala daerah memiliki tugas dan wewenang untuk menjalankan fungsinya menjaga kondusivitas daerahnya," tegas Muchtar Luthfi.
Karena menurutnya, radikalisme itu bermuara pada dua hal yaitu terorisme dan konflik sosial masyarakat.
"Bisa diidentifikasi karena faktor kemiskinan masyarakat, ketimpangan sosial dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Oleh sebab itu pemerintah daerah itu punya peranan sangat besar mengatasi radikalisme," tutur Muchtar Luthfi, mantan anggota DPR RI Fraksi NasDem periode lalu.
Politisi NasDem asal Nusa Tenggara Barat (NTB) Kurtubi menjelaskan, ada hal yang harus diperhatikan dalam menangkal radikalisme dengan menyusun argumentasi yang pas dan efektif.
"Maka perlu adanya pelurusan pemahaman, karena pemahaman radikalisme juga menggunakan dasar-dasar yang kuat sebagai argumentasi," katanya.(BA/*)