NasDem Berkomitmen Buka Gagasan Periodisasi Jabatan Presiden
JAKARTA (28 November): Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syarif Abdullah Alkadrie menegaskan komitmen Partai NasDem untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat terhadap gagasan amandemen UUD 1945, termasuk penambahan periode jabatan presiden.
Syarif yang juga sekretaris Fraksi NasDem MPR menjelaskan, NasDem tidak masuk pada ranah penambahan angka periodisasi. Tetapi apa yang diinginkan rakyat dan bangsa itulah yang NasDem lakukan.
"Oleh karena itu tentu Fraksi NasDem akan menggali sedalam-dalamnya menyangkut gagasan yang berkembang di masyarakat. Mau satu, dua atau tiga, bahkan empat periode, maupun 20 tahun atau delapan tahun, posisi Fraksi NasDem bukan menolak maupun menerima. Tetapi tentu karena kita ini partai gagasan, maka itu merupakan suatu wacana, khasanah untuk kita diskusikan, dan nantinya kita tawarkan kepada masyarakat," ujar Syarif saat menjadi pemateri diskusi Dialektika Demokrasi di Media Center MPR/DPR/DPD RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis(28/11).
Oleh karena itu, Syarif mengakui untuk menentukan periodisasi jabatan presiden memang tidak mudah. Oleh sebab itu, penting bagi pengambil keputusan untuk mengkaji secara mendalam dan komprehensif.
Direktur Eksekutif Political Review, Ujang Komarudin, menjelaskan perubahan amandemen konstitusi Indonesia sudah kerap dilakukan.
Menurut dia, perubahan tersebut banyak membawa konsekuensi yang sangat besar, maka sangat penting untuk dilakukan kajian secara akademis.
"Jadi harus dikaji secara akademis dan mendalam. Bila kita merujuk pada demokrasi di Amerika, hanya dua periode per empat tahun. Itu semua bisa karena bedasarkan nilai pendidikan dan budaya yang sudah cukup baik di sana," katanya.
Pengamat politik dan akademisi ini mengingatkan kepada para pengambil kebijakan untuk membuka diskusi terkait amandemen UUD 1945.
Namun, dia juga setuju terhadap wacana pembahasan amandemen ini secara mendalam dan komprehensif.
"Kalau MPR membahas soal konstitusi itu wajar saja, karena konstitusi bukanlah kitab suci. Tapi semuanya harus dikaji secara mendalam, harus berhati-hati. Jangan sampai malah melahirkan monster," tutur akademisi dari Universitas Al Ahzar Indonesia ini.
Dia mengatakan wacana ini jangan berhenti hanya seputar angka berapa menjadi berapa, tetapi perlu pengawalan yang jelas.(BA/*)