Lestari Moerdijat Harap Perempuan Berani Lawan Kekerasan

Lestari Moerdijat Harap Perempuan Berani Lawan Kekerasan

JAKARTA (10 Desember): Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyampaikan pesan kepada setiap wanita untuk berani melawan kekerasan. Dia mendorong agar perempuan berani berbicara dan melapor saat mengalami tindak kekerasan. 

"Masalah utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan ada dalam diri perempuan itu sendiri. Perempuan harus berani. Harus memiliki kekuatan untuk mendobrak kungkungan, pandangan, dan stigma," kata Lestari Moerdijat, di Jakarta, Selasa (10/12).

Politisi Partai NasDem tersebut menyayangkan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, terutama di tingkat keluarga yang tidak berlanjut ke ranah hukum dan berhenti sampai di tingkat keluarga. 

"Padahal, jumlah kekerasan domestik itu mendominasi, terutama kekerasan dalam rumah tangga hingga inses (hubungan sedarah)," ujarnya. 

Keberanian juga bakal layu jika tidak ada dukungan keluarga. Untuk itu, Mbak Rerie, sapaan Lestari Moerdijat, meminta keluarga ikut mendukung penanganan atas kekerasan terhadap perempuan. 

"Dan tak kalah penting adalah diseminasi (penyebarluasan) informasi agar masyarakat tahu harus ke mana melapor ketika mengalami atau melihat kekerasan terhadap perempuan," kata politisi Partai NasDem itu. 

Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah laporan atas kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% dalam kurun setahun terakhir. Pada 2017 tercatat ada 348.466 laporan yang masuk. Jumlah ini meningkat menjadi 406.178 pada 2018.

Sejumlah kasus yang menjadi perhatian Komnas Perempuan sepanjang 2018 ialah perkosaan dalam perkawinan (marital rape), inses, kekerasan dalam pacaran, dan kejahatan siber berbasis gender.

Keberanian, dukungan keluarga, dan kesadaran masyarakat saja ternyata tak cukup. Harus ada aturan ketat agar persoalan ini bisa diselesaikan secara menyeluruh. Di sinilah pentingnya segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

"RUU PKS harus segera diselesaikan. Parlemen memang sudah memasukkan rancangan ini ke prolegnas (program legislasi nasional). Mudah-mudahan segera disetujui. Sebagai anggota parlemen, saya berkewajiban menyelesaikan pekerjaan rumah ini," kata Rerie.

Tanpa beleid yang spesifik, ia pesimistis kasus-kasus kekerasan atas perempuan bisa dicegah secara maksimal. Ambil misal, jika ada tindakan pelecehan seksual di tempat publik. 

"Itu masukknya ke mana? Payung hukumnya apa? Kalau bisa dibuktikan, ya, ada pidananya. Tapi kalau hanya kekerasan verbal? Maka, landasan hukumnya harus jelas," ujarnya.

Rerie yakin akan ada lompatan dan kemajuan dalam menindak kekerasan atas perempuan jika RUU PKS disahkan.

Sebelumnya, Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, mengatakan RUU PKS sudah menjadi agenda legislasi nasional sejak 2016 dan bersifat mendesak. "Keberadaan UU ini mendesak karena sebagai wujud kehadiran negara di tengah masyarakat," tegasnya.

Selama ini, ungkapnya, praktik kekerasan verbal dan nonverbal begitu banyak dialami laki-laki ataupun perempuan. Namun, para korban tidak tahu bagaimana harus mengadu. Sebab, substansi UU yang saat ini ada belum mampu mengakomodasi kekerasan seksual yang dialami korban ataupun kepentingan pemulihan korban.

"Ada KUHP, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU KDRT, dan UU Pornografi, tapi belum mampu mengatasi problem kekerasan seksual," ujarnya. (Medcom/*)

Add Comment