DPR Minta Pasien Non-Corona Juga Dapat Prioritas Perawatan
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (30 Maret): Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene mengingatkan pemerintah agar dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tetap memperhatikan aspek perlindungan bagi pasien yang bukan terpapar Covid-19.
Saat ini, dalam pengamatan Felly, penanganan virus Corona telah menjadikan rumah sakit, baik yang rujukan atau pun non-rujukan, memiliki peran ganda.
“Ini juga perlu menjadi perhatian pemerintah dalam hal ini Kemeterian Kesehatan. Perlu pemisahan antara rumah sakit yang dikhususkan menangani Corona dengan rumah sakit umum biasa,” ujar Legislator NasDem dari Sulawesi Utara itu baru-baru ini.
Pasalnya, saat ini banyak orang enggan datang ke rumah sakit, karena khawatir terhadap penyebaran virus ini. “Padahal, mereka mungkin harus melakukan perawatan, atau penanganan medis lain yang tidak kalah penting,” ungkapnya.
Berdasarkan Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 yang dirilis Kemenkes, Indonesia memiliki 1,2 ranjang untuk setiap 1.000 penduduk. Artinya, per 1.000 penduduk tersedia 1,21 tempat tidur perawatan di rumah sakit.
Dengan populasi sekitar 260 juta jiwa, di Indonesia terdapat sekitar 310.000 tempat tidur perawatan di rumah sakit. “Standar WHO adalah satu tempat tidur untuk 1.000 penduduk. Dengan demikian, meskipun masih kalah jauh rasionya dibandingkan negara lain, Indonesia sudah memenuhi standar secara umum,” ungkapnya.
Masalahnya, lanjut Felly, persebaran tempat tidur perawatan tidak merata di semua provinsi.
“Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan punya rasio tertinggi. Kedua provinsi tersebut memiliki lebih dari dua ranjang RS per 1.000 penduduknya. Perbandingan itu berada di atas standar WHO,” ujar Legislator Partai NasDem itu.
Namun di lain pihak, ada delapan provinsi yang rasionya berada di bawah standar WHO yakni Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81) dan NTB (0,71).
“Atau bisa dikatakan, pada wilayah tersebut, untuk setiap 1.000 penduduk tidak satu pun bisa mendapat akses ranjang RS menurut perbandingan itu,” paparnya.
Ini, tukas Felly, adalah pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. “Bukan hanya pada saat terjadi wabah seperti saat ini, namun rasio tempat tidur dan jumlah penduduk perlu memenuhi standar WHO pada semua wilayah,” ujarnya.
Pada bagian lain, Felly juga menyoroti tentang jumlah kesiapan tenaga medis dan ketersediaan Alat Perlindungan Diri (APD). Jumlah tenaga medis, menurut Felly, harus memperhitungkan potensi eskalasi, shift kerja, hingga seberapa lama darurat bencana ini akan berakhir.
“Setiap daerah harus mempersiapkan formulasi tersebut sehingga jumlah dokter spesialis, dokter umum, perawat, APD dan tenaga medis lainnya dapat teratasi,” katanya.
Berdasarkan data yang dipegangnya, menjelang akhir tahun 2019, jumlah dokter yang ada di Indonesia ternyata mengalami peningkatan. Tidak hanya dokter umum, namun jumlah para dokter spesialis juga bertambah.
“Total jumlah data terakhir dokter yang terdaftar di IDI ada 168 ribu yang terdiri dari 138 ribu dokter umum, selebihnya sekitar 30 ribu dokter spesialis. Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dari segi kebutuhan jumlah dokter yang telah dihitung oleh Kementerian Kesehatan yaitu 45 dokter per 100.000 penduduk, maka jumlah dokter saat ini telah melebihi target. Saat ini ada 50 dokter per 100.000 penduduk di Indonesia,” lanjutnya.
Hanya saja, sambung Felly, sama seperti ranjang perawatan, yang menjadi permasalahan adalah sebaran yang tidak merata dan sebagian besar tenaga dokter terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Tidak hanya itu, Felly menyayangkan, tidak semua dokter yang terdaftar didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, jumlah dokter umum yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebanyak 53.607 orang dan dokter spesialis berjumlah 37.124.
“Jadi, hal-hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bukan hanya mengenai rasio dan jumlah rumah sakit, kelengkapan medis dan tenaga medis, tetapi juga persebarannya,” kata Felly.
Dengan melihat data persebaran itu, Felly menambahkan, dapat disimpulkan pemerintah daerah belum siap menghadapi ledakan wabah ini di daerahnya sehingga bisa menerapkan lockdown parsial di wilayahnya.
“Kita diuntungkan dengan wilayah geografis yang terdiri dari pulau-pulau. Opsi untuk lockdown parsial di wilayahnya bisa dipergunakan dengan menutup akses terhadap daerah tersebut juga dengan membatasi mobilitas penduduk di wilayahnya tersebut. Pemerintah daerah bisa berkoordiansi dengan Pemerintah Pusat dan semua lembaga terkait di wilayahnya untuk opsi ini” katanya.(*)