a

Aceh tidak Perlu Jam Malam

Aceh tidak Perlu Jam Malam

Oleh Teuku Irwan Djohan 

Anggota DPRA Partai NasDem

PERATURAN jam malam untuk mencegah meluasnya Covid-19 tidak perlu diberlakukan di Aceh saat ini, apabila pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh dan melakukan karantina Orang Dalam Pemantauan (ODP) secara ketat.

Seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup. Mengingat semua kasus positif Covid-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia. 

Jadi itu akar permasalahannya.  Untuk menyelesaikan setiap masalah, maka yang harus diatasi adalah akar permasalahannya.  

Kalau Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian, tapi Aceh masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu sia-sia.

Seandainya kita asumsikan bahwa semua orang yang ada di Aceh ini negatif dari Covid-19. Tapi kemudian masuk orang yang sudah terinfeksi Covid-19, maka penularan akan terus terjadi. 

Namun saat ini, kita sudah tahu faktanya, bahwa sudah ada lima orang yang positif Covid-19, kemudian ada puluhan Pasien Dalam Pengawasan (PDP), serta ratusan Orang Dalam Pemantauan (ODP) di Aceh yang tersebar di 23 kabupaten/kota.

Jadi yang harus dilakukan saat ini, selain menutup jalur agar tidak ada lagi orang yang membawa Covid-19 ke Aceh, juga harus dilakukan karantina yang superketat.

Ratusan ODP yang tersebar di seluruh Aceh ini harus dikarantina secara terpusat minimal 14 hari, dan dilindungi 24 jam agar tidak bertemu dengan orang lain.

Memutus rantai penularan Covid-19 ini tidak mungkin berhasil jika para ODP hanya diimbau untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing. 

Hal yang sangat manusiawi apabila manusia bosan berada di dalam rumah selama 14 hari. Maka ia akan tetap ke luar rumah, belanja ke pasar, ke apotik dan sebagainya.

Di samping itu, tidak semua ODP di Aceh adalah orang yang mampu secara ekonomi. Banyak di antaranya rakyat kecil yang sumber penghasilannya dari bekerja harian. 

Bagaimana mungkin mereka yang pekerja harian ini diimbau untuk berdiam diri di rumah selama 14 hari? Mau makan apa dia dan keluarganya? 

Maka sudah seharusnya pemerintah yang menanggung kebutuhan para ODP, baik makanan, vitamin, dan sebagainya. Caranya para ODP ini harus dikarantina di satu tempat. 

Akan lebih tepat lagi kalau para ODP dikarantina di fasilitas militer yang sudah terjamin keamanannya, juga mempunyai sarana yang lengkap seperti kamar tidur, kamar mandi, perabotan, sarana olahraga dan taman. 

Ada dua lokasi yang saya rasa layak sebagai tempat pemusatan karantina, yaitu Rindam Iskandar Muda di Mata Ie, dan Sekolah Polisi Negara (SPN) di Seulawah.

Apabila dianggap terlalu jauh jika semua ODP dari berbagai kabupaten/kota dikarantina di pusat provinsi, bisa juga dibagi ke tiga lokasi, yaitu di Lhokseumawe  untuk wilayah utara, timur dan tengah, kemudian di Meulaboh untuk wilayah barat dan selatan.

Jadi ringkasnya poin-poin yang saya sarankan adalah : 

Pertama, tutup semua jalur, termasuk jalur tidak resmi. Tidak ada yang bisa masuk ke Aceh dan tidak ada yang bisa keluar dari Aceh hingga batas waktu yang ditentukan.

Kedua, untuk warga Aceh yang sedang berstatus ODP harus dikarantina secara terpusat sampai dipastikan negatif.

Ketiga, untuk warga Aceh yang sedang berstatus PDP harus menjalani perawatan di rumah sakit rujukan sampai sembuh.

Apabila hal ini diterapkan, maka saya yakin rantai penularan virus Corona di Aceh akan terhenti. Karena yang di dalam sudah dilindungi, dan yang di luar tidak bisa masuk.

Dengan demikian kegiatan perekonomian masyarakat Aceh masih bisa tetap berjalan. Tidak perlu jam malam dan bahkan tidak perlu penutupan usaha milik masyarakat. 

Kalau dengan penutupan jalur masuk ke Aceh dikhawatirkan akan mengganggu stok bahan pokok, peralatan medis, BBM dan sebagainya, maka bisa dibuat pengecualian bagi truk pengangkutan, pesawat cargo dan kapal barang.(*)

Add Comment