Polemik RUU Ciptaker yang Minim Diskursus

JAKARTA (17 April): Sebagaimana lazimnya rancangan undang-undang strategis yang lain, RUU Cipta Kerja yang kini sudah dibentuk panitia kerjanya oleh DPR juga banyak mendapatkan kritik dan penolakan.

 Tidak hanya dari kalangan buruh yang merasa dirugikan dengan adanya klaster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut, melainkan juga dari kalangan lainnya.

Di satu sisi, hal ini menunjukkan berjalannya check and balances dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Namun di sisi lain, berlimpahnya kritik dan penolakan terhadap sebuah produk yang tengah dibuat oleh lembaga negara ternyata hanya terjebak pada logika “ya dan tidak” saja.

Baik kalangan buruh maupun akademisi, muara dari semua kritiknya terhadap RUU Ciptaker selalu berujung pada penolakan. Akhirnya, tujuan dari munculnya RUU tersebut tidak diiringi dengan gagasan yang senapas.

Bagi Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya, kenyataan ini membuat kehidupan demokrasi kita menjadi kurang optimal. Kritik yang berlimpah tidak dibarengi dengan diskursus yang kaya. Kebanyakan yang muncul adalah menolak atau menerima saja. 

“Tradisi diskursusnya jadi minim. Teman-teman yang menjadi oposisi hampir selalu terjebak pada menerima atau menolak saja. Padahal, semangat yang dibawa oleh RUU Ciptaker ini cukup baik dan bisa menjadi terobosan dalam kehidupan bernegara kita. Tidak ada kontradiskursus yang muncul jika memang konsep RUU ini dipandang tidak tepat ,” kata Willy, Jumat (17/4), di Jakarta.

RUU Ciptaker pertama kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2020. Lewat omnibus law, konsep tersebut diyakini bakal mampu menyederhanakan kendala regulasi yang dianggap berbelit dan panjang seperti yang terjadi selama ini. 

Willy berpandangan, RUU Ciptaker punya semangat dan tujuan yang harus diapresiasi. Dengan konsep omnibus law yang dibawanya, RUU ini ingin melakukan debirokratisasi perizinan dan kemudahan berinvestasi. Dalam hematnya, ini adalah sesuatu yang mestinya didukung oleh semua pihak sebab soal panjanganya perizinan ini adalah kenyataan yang bisa dirasakan oleh siapa pun.

Oleh karena itu, jika ada kalangan yang tidak sependapat dengan RUU ini, menurut Willy, mestinya ada sesuatu yang ditawarkan. Bukan hanya menerima atau menolak saja.

“Ini tradisi yang tidak baik. Mestinya ada kontradiskursus yang ditawarkan. Kalau tidak sepakat dengan konsep omnibus law, konsep lain apa yang bisa. Apa resep menghadapi krisis global yang sudah di depan mata ini jika bukan RUU semacam Ciptaker ini? Pasca pandemi Covid-19 ini apa yang kita siapkan? Belum lagi soal bonus demografi yang kita miliki hingga tahun 2030 nanti,” ungkapnya.

Bagi Willy, RUU Ciptaker relevan dengan situasi yang tengah terjadi. Selain krisis ekonomi global, bonus demografi yang akan Indonesia alami juga menjadi tantangan sendiri. 

“Ia akan butuh lebih dari sekadar kritik dan gugatan. Ia butuh diskursus dan tawaran-tawaran.”

Perlu diketahui, sejak akhir tahun 2018 lalu, badan finansial dunia IMF bersama Bank Dunia telah mewanti-wanti terjadinya krisis ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin terkoreksi akibat perang dagang AS versus Tiongkok. Prediksi tersebut semakin nyata seiring munculnya pandemi Covid-19 yang telah mewabah di hampir seluruh negara di dunia saat ini.

Kenyataan tersebut ditambah dengan bonus demografi yang puncaknya akan kita dapatkan pada 2030-2040 nanti dan bonus itu sudah dimulai pada tahun 2020 ini, di mana jumlah penduduk produktif di Indonesia (berusia 15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif.

Bagi Willy, RUU Ciptaker bisa menjadi jawaban atas tantangan-tantangan tersebut. Sebab selain masalah birokratisasi perizinan yang bertele- tele dan tumpang tindih, kesempatan lapangan kerja juga harus disediakan bagi lebih dari 190 angkatan produktif tersebut nantinya. 

Alih-alih menjadi bonus, ketidakmampuan negara menyediakan lapangan kerja di tahun-tahun tersebut akan menjadi malapetaka. Oleh karena itu, Willy berharap, gugatan terhadap RUU Ciptaker harus diiringi dengan tawaran-tawaran untuk menjawab semua tantangan di atas.

“Hari ini semua negara tengah kewalahan menghadapi tekanan ekonomi karena pandemi Covid-19. Resesi ekonomi global sudah di ambang pintu. IMF sudah mengatakan resesi karena Covid-19 akan lebih parah dari resesi tahun 1930. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sudah menyampaikan bahwa kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kita akan minus.

 Ini berarti, pasca berakhirnya pandemi corona, semua negara akan berlomba-lomba membuka pintu bagi investor. Semua negara akan berusaha menggenjot kembali kehidupan ekonomi nasionalnya. Iklim investasi akan dibuat senyaman dan semudah mungkin oleh mereka. Jika Indonesia masih punya PR seputar perizinan terkait investasinya ya jangan heran kalau nanti kita hanya akan mendapatkan remah-remahnya saja,” ujar Willy yang juga Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem ini.

Menurutnya, inilah mengapa Fraksi NasDem  mendukung RUU Ciptaker. Selain karena menjadi terobosan dalam kehidupan ekonomi nasional, ia juga bisa menjadi langkah awal untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.

“Demokrasi ekonomi itu bahasa gampangnya pemerataan kesempatan dan peluang dalam bidang ekonomi. Birokratisme perizinan selama ini telah membuat ketimpangan. Hanya mereka yang bermodal besar saja yang bisa mengembangkan usahananya. Mengapa? Karena mereka bisa menyuap pintu-pintu perizinan yang berjibun itu. Sementara yang kecil, mereka akan kalah sejak di pintu pertama. Dengan debirokratisasi perizinan, semua akan memiliki hak dan kesempatan yang sama,” ucapnya.

Meski demikian, Willy menandaskan, baik Fraksi Partai NasDem maupun fraksi-fraksi lainnya akan senantiasa mendengar dan memfasilitasi segala keberatan dan masukan. Hal ini dibuktikan dengan usulan agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU tersebut. 

Tidak hanya fraksinya yang telah sepakat untuk mengeluarkan klaster tersebut dari RUU Ciptaker, fraksi-fraksi yang lain juga sudah sepemahaman terkait poin ini.

“Jika memang poin ini yang menjadi ganjalan selama ini dari teman-teman oposisi, kami di DPR sudah satu pandangan. Sekarang tinggal menunggu suara dari pemerintah saja seperti apa,” ungkapnya.

Selanjutnya, kata Willy, jika memang sudah oke terkait RUU ini, langkah berikutnya adalah pembahasan atau kritik terhadap isi atau materi-materi di dalamnya. Apakah itu di konsep omnibusnya, atau detail pasal-pasalnya. 

Sebab nilai positif dari omnibus law RUU Ciptaker ini adalah ia akan menjadi preseden yang baik dalam penyederhanaan dan harmonisasi hukum tata negara kita. Seperti banyak diketahui, tumpang tindih peraturan dan perundangan kita tidak hanya di bidang ekonomi saja, namun di hampir semua sektor kehidupan bernegara kita. 

“Intinya ada tawaran-tawaran yang konstruktif dari semua pihak jika memang ada kritik terhadap RUU ini. Jika kita berhasil merumuskan omnibus law pertama ini dengan baik, ini bisa menjadi kabar gembira bagi upaya untuk memperbaiki tata hukum negara kita ke depan,” kata Willy.(*)

Add Comment