NasDem Sarankan BI Lebih Agresif Sokong Dunia Usaha

JAKARTA (4 Mei): Situasi yang terjadi saat ini akibat pandemi Covid 19 akan mengkhawatirkan jika tidak ada mitigasi dan langkah terukur yang segera diambil, kata Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem, Ahmad M Ali.

“Yang terjadi saat ini bukan hanya stok bahan baku terbatas yang dialami industri. Negara buyer pun menunda pembeliannya bahkan ada yang bersiap menghentikan pesanan. Kalau tidak ada langkah bersama baik di nasional maupun internasional, akan lebih banyak lagi penderitaan yang dihadapi teman-teman pengusaha dan pekerja. Produksi nasional benar-benar terganggu,” kata Ahmad Ali dalam rilis yang dikirimkan ke partainasdem.id, Senin (4/5).

Menurut Ahmad Ali, perlu ada insentif yang benar-benar menyasar keberlangsungan usaha. Problem yang dihadapi dunia usaha, katanya, selain soal pajak penghasilan yang sudah pasti turun karena pembelian juga menurun, adalah soal likuiditas keuangan. Apalagi banyak penerimaan yang semestinya dibukukan perusahaan menjadi tertunda atau batal. 

“Keringanan pajak dan relaksasi kredit UMKM yang ditetapkan Perppu 1/2020 itu bagus. Namun belum cukup untuk tetap bisa menggerakkan usaha. Harus ada insentif yang diberikan untuk membantu kelancaran likuiditas usaha. Hal ini bisa disampaikan melalui bank sebagai leverage dunia usaha,” katanya.

Ketua Fraksi NasDem DPR RI itu mengatakan, dunia usaha akan sangat terbantu jika Bank Indonesia (BI) memberikan dukungan terhadap bank komersial sasaran. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan BI benar-benar tepat sasaran. 

“BI bisa misalnya memberikan sokongan dana pinjaman berbunga rendah, misalnya 4% per tahun, bagi bank yang mengelola kredit UMKM. Dengan proyeksi perbaikan ekonomi nasional secara bertahap pada tahun 2021-2022, BI bisa menyupport bank dengan tenor paling cepat 18 bulan dan skema pembayaran bunga per triwulan,” dia mencontohkan. 

Legislator NasDem dari Sulawesi Tengah itu mengatakan dengan kebijakan moneter dari BI yang demikian setidaknya pengusaha akan memiliki ruang keuangan perusahaan yang lebih fleksibel untuk mendukung keberlangsungan usaha. Dengan kebijakan moneter yang demikian maka APBN juga tidak akan terganggu.

“Jika BI mengeluarkan kebijakan moneter seperti itu, setidaknya pengusaha akan terbantu untuk memperoleh pembebasan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama satu tahun dari bank. Atau di lain pihak akan memperoleh bantuan berupa pengurangan bunga bank menjadi 6% per tahun selama satu tahun,” paparnya. 

Dia menegaskan, di banyak negara yang mengalami penurunan ekonomi tajam, bank sentral negara juga aktif mengajukan langkah-langkah penanganan potensi bahaya ekonomi yang lebih dalam. Bank Sentral secara aktif mengeluarkan kebijakan moneter yang terukur yang diharapkan dapat membantu kembalinya suasa ekonomi negara. 

“Bukan hanya Amerika yang bank sentralnya aktif dalam penanganan ekonomi akibat pandemi. Inggris, Jerman, Prancis dan lainnya pun demikian. Alternatif kebijakan memberi sokongan pinjaman berbunga rendah dan pembebasan pembayaran bunga dan pokok pinjaman oleh pengatur sistem moneter ini lebih menjanjikan sesuai dengan karakter usaha di Indonesia,” tegasnya. 

Ahmad Ali  berharap, BI dapat segera menerapkan kebijakan moneter yang tepat sasaran dan memiliki dampak bagi kelangsungan usaha dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang lebih agresif.

“Kita butuh ekonomi kita segera bergerak begitu angka pandemi ini melandai. Sebisa mungkin BI harus cepat mengeluarkan kebijakan moneter yang dimaksud,” tegasnya.

Dikemukakan, negara-negara terdampak pandemi Covid 19 terus berupaya untuk secara gradual bertahan dan bangkit dari kemungkinan krisis ekonomi. Disrupsi yang dihasilkan dari upaya mengatasi pandemi Covid 19 terjadi di banyak sektor selain kesehatan itu sendiri. 

Di pertengahan April lalu, sedikitnya 83.546 perusahaan di sektor formal terdampak pandemi Covid 19, dengan total 1,5 juta pekerja di-PHK atau dirumahkan. Sedangkan, yang terdampak di sektor informal sebanyak 30.794 perusahaan, dengan lebih dari 443 ribu karyawan di-PHK atau dirumahkan. Produksi dan konsumsi nasional yang menopang PDB terdisrupsi di berbagai sektor usaha. 

World Economic Outlook, yang dikeluarkan IMF April 2020, merevisi proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia hanya menjadi 0,5% ditahun 2020 dari sebelumnya 5,1%. Demikian juga angka pengangguran yang dikoreksi dari 5% menjadi 7,5%. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di Emerging Country seperti Indonesia, melainkan juga terjadi pada negara-negara Established Country, BRICS, dan G7. 

Menurut Ahmad Ali, proyeksi ekonomi yang mengalami penurunan harus disikapi dengan strategi yang matang dan terukur oleh setiap negara. Indonesia tidak boleh tertinggal untuk menerapkan strategi baik yang harus diimplementasikan di dalam negeri maupun dengan kerja sama luar negeri. 

“Perhitungan proyeksi para ekonom dalam skema optimistis maupun pesimistis menunjukan penurunan PDB di semua negara terdampak Covid 19 baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena kesalinghubungan ekonomi dunia. Karena itu negara-negara mulai berkonsentrasi menjalankan sistem pertahanan ekonomi masing-masing tanpa mengesampingkan perubahan faktor global,” ujarnya. 

Menurut dia, dalam kondisi ekonomi yang tertekan oleh pandemi saat ini maka perlu ada langkah-langkah luar biasa yang dilakukan pemerintah. Amerika Serikat misalnya mengeluarkan Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act (CARES Act) yang berlaku mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2020. 

Dana mencapai US$869 miliar disiapkan dalam bentuk pinjaman, dana penjaminan dan dana cadangan Bank Sentral. Dana tersebut juga dimaksudkan agar dunia usaha tetap menjaga pekerjanya. Selain itu ada juga insentif pajak US$250 miliar dan insentif pengangguran. 

“Undang-undang ini memperlihatkan konsentrasi membangun pertahanan dan pertumbuhan ekonominya. Lebih dari 11% PDB disiapkan untuk menyelamatkan ekonominya,” jelasnya.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Indonesia mengalokasikan Rp405,1 triliun atau 2,5% total PDB dalam kerangka penanganan dampak Covid 19. Dari jumlah tersebut Rp70 triliyun digunakan untuk relaksasi pajak dan Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Program pemulihan ekonomi yang dimaksud juga termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta  pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha.

“Dari kebijakan penyelamatan sektor ekonomi yang baru terdengar adalah soal 9.610 perusahaan diberikan keringanan pajak penghasilan. Perusahaan diberikan tarif 0 bea impor barang. Keriuhan relaksasi pembayaran cicilan kredit konsumsi. Selain itu apa. Makanya kita butuh kebijakan moneter dari BI yang lebih agresif,” pungkasnya.(RO/*)

Add Comment