Omnibus Law untuk Hadapi Perubahan Ekonomi Struktural
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (11 Mei): Pro-kontra RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak berakhir dengan telah dikecualikannya klaster ketenagakerjaan dari pembahasan. Banyak argumen menolak Omnibus Law mendasarkan pada situasi pandemi Covid-19 yang dianggap sebagai waktu tidak tepat untuk melanjutkan pembahasan.
Realitas argumentasi tersebut terlihat dari presentasi materi diskusi oleh Paulus Tri Agung, Wakil Pemimpin Redaksi Koran Kompas. Menurut dia, banyak asumsi makro yang tidak sesuai antara situasi normal dan situasi tidak normal karena pandemi.
"Semua negara cenderung memperhatikan ekonomi dalam negerinya, ketimbang melakukan ekspansi di tengah pandemi atau mungkin nanti pascapandemi," ujarnya dalam diskusi virtual DPR RI Bidang Korinbang, akhir pekan lalu.
Wakil Ketua DPR RI bidang Korinbang, Rachmat Gobel, dari Fraksi NasDem, yang memprakarsai diskusi tersebut mengatakan urgensi untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja justru bertitik tekan pada perubahan ekonomi struktural yang akan dihadapi Indonesia ke depan.
Rachmat mengatakan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan kondisi sangat berat. Untuk itu diperlukan terobosan, bahwa apa yang tengah dilakukan pemerintah harus memiliki kebijakan pamungkas yang dapat menjadi recovery total pascapandemi Covid-19.
"Kita tidak bisa menunggu semua kondisi normal. Justru kita mempersiapkan formula terbaik menghadapi kemungkinan kondisi terburuk," tandas Legislator NasDem tersebut.
Hal senada dikatakan Rosan P Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia. Menurutnya, kendala utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah regulasi yang terlalu banyak, tumpang-tindih, dan sebagian bertentangan.
"Upaya memangkas, menyederhanakan dan menyelaraskan itulah yang sebenarnya menjadi pintu masuk. Capaian dari itu semua berupa masuknya investasi yang membuka lapangan pekerjaan adalah dampak positif yang dirasakan," jelasnya.
Rosan mengatakan bahwa dari sekian banyak dialog dengan kamar dagang dari berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat, relokasi industri menuju ke Asia adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, China sendiri terus melakukan relokasi dari negaranya.
"Negara yang menikmati relokasi tersebut saat ini adalah Vietnam. Mereka mampu melakukan akselerasi peluang, yang meningkatkan kriteria industrialisasi negara tersebut," terangnya.
Dalam hal pandemi Covid-19, Vietnam ternyata menjadi salah satu negara yang paling baik dalam menjaga dan menekan pandemi. Kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan pemerintah dalam penanganan pandemi menjadi faktor utama tidak adanya korban meninggal dunia. Hingga Jumat (8/5) total terinfeksi hanya 288 orang dengan jumlah sembuh sebanyak 233 orang.
Dalam diskusi tersebut, Fraksi Partai NasDem menyatakan bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus dilanjutkan. Sejumlah narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa percepatan pembangunan melalui realisasi Omnibus Law itu merupakan inti kebijakan ekonomi baru.
Hal itu diungkapkan Djisman Simandjuntak, Rektor Universitas Prasetya Mulya. Ia mengatakan pertumbuhan 7% tampak “masuk akal”, sehingga cukup untuk membuka lapangan kerja formal untuk seluruh angkatan kerja.
"Kita kehilangan waktu karena pandemi ini dengan penutupan bisnis, sekolah fisik, ibadah fisik, kehilangan output, kehilangan pekerjaan (employment), kembalinya perantau (TKI), penurunan konsumsi, penurunan ekspor, perlambatan investasi dan bersifat huge uncertainty about what to come," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Djisman, diperlukan percepatan dengan lanskap ekonomi baru. Beberapa kebijakan tersebut meliputi penajaman persaingan dalam perdagangan internasional, investasi asing, pasar perusahaan teknologi, pasar talenta manusia (Asia sebagai episenter pertumbuhan). Selain itu, menempuh kebijakan makro yang sangat longgar meliputi tingkat bunga sangat rendah, kenaikan besar dalam program proteksi sosial, penyelamatan perusahaan dan jasa keuangan, kenaikan besar-besaran dalam utang pemerintah.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Hendri Saparini juga menyebut kemampuan transformasi struktural Indonesia masih memerlukan akselerasi. Jika merujuk pada klaster pembahasan Omnibus Law, meliputi penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi, tampaknya cukup merepresentasikan fundamental transformasi struktural.
"Permasalahan saat ini yang menghambat semua itu utamanya adalah ketidaksamaan visi dan prioritas pusat dan daerah serta minimnya strategi untuk membangun kedalaman industri atau supporting industry," tegasnya. []