Perlu Skema Mudahkan Penyintas Kanker di Masa Pandemi
JAKARTA (25 Juni): Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat meminta pemerintah membuat skema pelayanan dan pembiayaan yang meringankan, agar hak penyintas kanker memperoleh pengobatan tidak terganggu di masa pandemi Covid-19.
"Wabah Covid-19 ini mengkhawatirkan bagi para penyintas kanker. Ruang gerak penyintas semakin sempit. Selain kanker, penyintas juga menghadapi ancaman penularan virus dan ada beban dari sisi ekonomi untuk membiayai pengobatan," kata Lestari Moerdijat dalam diskusi online yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 dan DPP Partai NasDem Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis, Rabu (24/6).
Diskusi yang dimoderatori Rahma Sarita, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, bertema Perlindungan Hak Pasien Kanker atas Akses Pelayanan Berkualitas dalam Kenormalan Baru Covid-19. Diskusi itu diikuti 150 peserta dari berbagai kalangan.
Narasumber yang hadir adalah dokter Nina Kemala Sari, Plh Direktur Utama RS Kanker Dharmais, dokter Ronald A Hukom, Ketua Perhimpunan Hematologi-Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (Perhomedin) Cabang Jakarta, dokter Maya Rusady, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC).
Selain itu hadir juga Okky Asokawati, Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kesehatan, dan Hasnah Syam, anggota Komisi IX DPR RI sebagai panelis.
Dengan sejumlah kendala pada masa pandemi Covid-19 saat ini, kata Rerie, sapaan akrab Lestari, para penyintas kanker menghadapi masalah nonteknis dan psikologis.
Nina Kemala Sari mengungkapkan, RS Kanker Dharmais sudah melakukan upaya ekstra dalam melayani para pasien dengan menerapkan sejumlah langkah pencegahan sesuai protokol kesehatan saat pandemi Covid-19.
"Kami membagi menjadi tiga prioritas pelayanan untuk pasien kanker. Prioritas tinggi, medium dan rendah. Untuk penderita kanker yang masuk prioritas rendah dan bisa diatasi dengan berobat jalan, tidak perlu datang ke rumah sakit dulu di masa pandemi ini untuk mengurangi risiko," ujar Nina.
Tetapi sejak Juni 2020 ini, tambahnya, kedatangan para pederita kanker ke rumah sakit untuk berobat cenderung meningkat.
"Pasien yang beberapa bulan lalu jadwal pemeriksaannya tertunda mulai berdatangan bulan ini. Jadi kami meningkatkan kewaspadaan agar para pasien tidak tertular Covid-19, selama pengobatan," jelasnya.
Onkolog Ronald A Hukom mengungkapkan, data GLOBOCAN 2018 mencatat setiap tahun penderita kanker di Indonesia bertambah 348.859 orang.
"Di Indonesia kebanyakan pasien datang berobat pada stadium lanjut. Tetapi sejak ada layanan BPJS, pengobatan kanker pada stadium awal malah ada indikasi berlebihan. Sehingga perlu ada sistem audit dalam tata laksana pemberian obat agar pengobatannya sesuai mutu yang diharapkan," jelasnya.
Kondisi tersebut, tambah Ronald, menyebabkan terjadi pemborosan dalam pembiayaan obat yang semakin besar. Selain itu, ungkap Ronald, data dari salah satu perusahaan asuransi kesehatan setiap tahun penyintas kanker Indonesia menghabiskan Rp155 triliun untuk berobat ke luar negeri.
"Bila 3%-5% dari dana berobat ke luar negeri itu bisa untuk membangun pusat-pusat pengobatan kanker di dalam negeri, kita bisa mencegah triliunan rupiah tidak terbang keluar negeri."
Asisten Deputi Bidang Pelayanan Kesehatan BPJS, Medianti Allya mengungkapkan biaya pengobatan penyakit kanker menempati peringkat kedua terbesar (17,40%) pembiayaan penyakit oleh BPJS pada 2019. Sedangkan alokasi pembiayaan terbesar BPJS pada 2019 untuk penyakit jantung yaitu 50,68%.
"Negara semakin hadir dalam menjamin kesehatan masyarakatnya. Tingkat kepuasan peserta BPJS pada 2019 mencapai 80,1 persen," ujat Medianti.
Pada kesempatan tersebut Aryanthi Baramuli Putri, meminta agar suara penderita kanker dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan kesehatan di masa pandemi.
Kepastian ketersediaan obat, kekhawatiran penyintas saat menjalani pengobatan yang mengharuskan ke luar rumah, menurut Aryanti, merupakan sebagian kendala yang dihadapi para penyintas kanker.
Okky Asokawati mengusulkan perlu diredisain proses pelayanan bagi pasien kanker, sehingga harus ada pedoman tata laksana pelayanan kesehatan pada pasien kanker di masa pandemi.
Menanggapi kondisi keterbatasan gerak para penyintas kanker pada masa pandemi di Tanah Air, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, kondisi tersebut tidak bisa diatasi bila kita tidak keluar dari upaya yang business as usual.
Sejumlah ilmuwan di luar negeri, menurut Saur, sudah mengusulkan konsep hospital at home, telemedicine dan drive-thru injection clinic, agar para penderita kanker tidak perlu datang ke rumah sakit dan menghadapi ancaman baru di masa pandemi.
"Investasi untuk merealisasikan konsep-konsep itu perlu dipikirkan lebih jauh, sehingga tidak ada pilihan-pilihan yang sulit bagi penderita kanker di masa pandemi," pungkas Saur.*