Polri Didesak Hapuskan Praktek Penyiksaan
JAKARTA (26 Juni): Memperingati Hari Anti-Penyiksaan Internasional yang jatuh pada setiap 26 Juni, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, Taufik Basari mendorong Polri menjalankan program Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya) dengan menghapus praktik penyiksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan serta Perlakuan dan Penghukuman Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Lainnya melalui UU No 5 Tahun 1998, negara wajib memastikan tidak adanya praktek penyiksaan dalam proses hukum di negeri ini.
“Wujud dari pelaksanaan program Polri yang profesional, modern dan terpercaya atau promoter, terlihat dari keberhasilan Polri untuk memastikan dihentikannya segala praktek penyiksaan dalam setiap proses hukum, menindak tegas oknum pelaku penyiksaan, dan membangun sistem dan kultur kepolisian yang mampu menjamin tidak terjadinya praktek penyiksaan. Tanpa itu semua, program promoter tidak ada artinya,” tegas Taufik dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke partainasdem.id, Jumat (26/6).
Merujuk hasil pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), selama periode Juli 2019 sampai Mei 2020, tercatat masih terdapat 62 kasus praktik penyiksaan, dan 48 kasus di antaranya dilakukan institusi Kepolisian.
Anggota DPR RI dari dapil Lampung I itu menegaskan, meskipun sudah ada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melarang praktek penyiksaan, faktanya kasus penyiksaan masih saja terjadi di beberapa tempat.
Karena itu, kata Legislator NasDem tersebut, peraturan internal saja tidak cukup, tetapi harus diikuti dengan pembangunan sistem dan perbaikan kultur yang mencegah terjadinya penyiksaan.
Taufik yang pernah menjadi sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini, juga mengingatkan bahwa keterangan yang diperoleh melalui tindak penyiksaan dalam proses hukum tidak dapat bernilai sebagai alat bukti di persidangan.
“Hakim di persidangan harus menindaklanjuti secara serius terhadap adanya pengakuan tindak penyiksaan, agar putusan didasarkan pada keadilan dan proses hukum yang benar sesuai prinsip-prinsip rule of law dan fair trial,” tegasnya.
International Day in Support of Victims of Torture atau yang dikenal sebagai Hari Anti Penyiksaan diperingati setiap tanggal 26 Juni. Peringatan tersebut adalah momentum untuk menyuarakan penghapusan praktek-praktek penyiksaan maupun perlakuan merendahkan dan tidak manusiawi lainnya yang masih sering terjadi dalam sistem peradilan pidana.
Ke depan, kata Taufik Basari, pihaknya akan mendorong revisi KUHAP dengan menekankan perbaikan hukum acara pidana yang diharapkan mampu mencegah praktek penyiksaan dalam proses hukum.(RO/*)