Negara Wajib Lindungi Warga dari Ancaman Kekerasan Seksual

JAKARTA (6 Agustus): Belum ada perundang-undangan yang spesifik melindungi korban kekerasan seksual dan memberi efek jera bagi pelakunya, meski sudah ada sejumlah aturan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Negara harus memberi perlindungan dan menciptakan rasa aman bagi semua warga negara. Sehingga perlu segera menghadirkan peraturan yang melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat di Jakarta, Rabu (5/8) saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi yang digelar Forum Diskusi Denpasar12 bekerja sama dengan DPP Partai NasDem Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis, bertema Kekerasan Seksual Sebagai Tindak Pidana. 

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI itu menghadirkan Ratna Susianawati (Pelaksana Harian Deputi bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/PPPA), Lucky Endarwati (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang), Ninik Rahayu (anggota Ombudsman RI) dan Era Purnama Sari (Wakil Ketua YLBHI).

Selain itu juga hadir Barita Simanjuntak (Ketua Komisi Kejaksaan RI) dan Atang Irawan (Pakar Hukum Tata Negara, dosen Universitas Pasundan) sebagai panelis.

Menurut Lestari, kekerasan seksual saat ini tidak terbatas pada perkosaan dan pencabulan, tetapi juga berkembang dalam bentuk pemaksaan aborsi, percobaan perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual maupun cyber bully.

Dengan keterbatasan cakupan aturan dalam KUHP terkait kekerasan seksual, menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, akibatnya saat ini pelaku kekerasan seksual di luar perkosaan dan pencabulan sulit dijerat dengan delik pidana.

Padahal, tambah Legislator Partai NasDem itu, kekerasan seksual saat ini tidak hanya menyasar kaum perempuan, tetapi juga anak perempuan dan anak laki-laki.

"Kondisi ini menjadi dasar bagi kita semua untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan mengesahkannya sebagai undang-undang," kata anggota DPR RI dari Jawa Tengah II itu.

Pelaksana Harian Deputi bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian PPPA, Ratna Susianawati mengakui pemerintah saat ini juga aktif membahas dengan berbagai pihak baik yang pro dan kontra terhadap RUU PKS.

"Langkah-langkah tersebut untuk mereview RUU PKS sebelum dimasukkan kembali pada Prolegnas di tahun 2021," ujar Ratna.

Pemerintah, menurut Ratna, terus berupaya mendorong pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang, karena ancaman kekerasan seksual memang nyata dan mengancam hak azasi manusia.

Sebagai catatan, berdasarkan survei Kementerian PPPA pada 2018, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Catatan lain mengungkapkan satu dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual dan satu dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.

"Sampai dengan 26 Juli lalu, sebanyak 55,38 persen laporan kekerasan terhadap anak yang kami terima adalah kekerasan seksual. Kondisi ini sudah sangat memprihatinkan," ujar Ratna.

Sedangkan anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu menegaskan dalam kejahatan kekerasan seksual secara umum pelakunya mencederai martabat korbannya. Padahal, martabat manusia merupakan hak yang paling dasar dari warga negara.

"Dengan kondisi tersebut perlu dasar hukum yang komprehensif untuk menangani kasus kekerasan seksual, baik hukum dari sisi pencegahan, penindakan dan rehabilitasi," tegas Ninik.

Sedangkan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lucky Endarwati berpendapat, dalam menegakkan penghapusan kekerasan seksual harus didasarkan pada enam asas yaitu penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.*

Add Comment