Jalan Mujahadah Paloh Menuju Restorasi Politik
TRADISI membaca, memahami, menginternalisasi, serta menegosiasi nilai pemikiran dan keteladanan tokoh dalam konteks gerakan sosial-politik adalah jalan “benar” yang seharusnya ditempuh generasi muda dewasa ini. Ada sebuah adagium: “Pemikiran tanpa gerakan akan melahirkan intelektualisme, sementara gerakan tanpa pemikiran akan melahirkan anarkisme”.
Kemajuan sebuah bangsa tak hanya bergantung pada sistem dan infrastruktur yang dibangun. Namun faktor penting di dalamnya adalah nilai etik, perilaku dan keteladanan dari pemimpinnya.
Buku berjudul: ‘9 Asketisme Politik Kontribusi Surya Paloh dalam Merestorasi Politik di Indonesia’ yang ditulis Moch Eksan ini merupakan sebuah refleksi dari pergumulan pemikiran, sikap dan jalan politik Surya Dharma Paloh, tokoh politik nasional yang membidani partai NasDem. Akumulasi refleksi pergumulan pemikiran Eksan terhadap pendiri NasDem ini terkonstruksi menjadi narasi besar ”9 Asketisme Politik“.
Pilihan diksi Asketisme bukan sekadar merangkai kata agar terkesan mempesona. Namun berangkat dari tradisi akademik, latar belakang santri hingga pilihan hidupnya yang terjun dalam organisasi politik sebagai alat perjuangannya. Nalar zuhud dalam tradisi pemikiran pesantren yang termaktub dalam Kifayatul Azdkiya’ waminhajul Ashfiya’ karangan Ibni Muhammad Syatha’ Addimyati menjadi pisau analisis penulis dalam memotret sikap dan perilaku politik Paloh.
Salah satu dogma zuhud yang populer adalah “Kecenderungan pada cinta dunia dan kekuasan adalah pangkal kesalahan”. Hasrat terhadap harta dan tahta baik secara terang-terangan maupun sembunyi, harus secara perlahan ditahan, dikendalikan dan diarahkan pada kemaslahatan. Maka implementasi zuhud politik dalam konteks ini menjadi momentum pengabdian diri dan alat perjuangan sekaligus sebagai jalan menuju keselamatan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Asketisme politik menurut penulis: “adalah paham dan tindakan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan berdasarkan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran dan rela berkorban” (hal; 97).
Potret narasi besar dogma asketisme politik Surya Paloh dalam merestorasi politik di Indonesia menurut pendiri Eksan Institute ini terbagi menjadi sembilan pokok pikiran.
Pertama; Hidup Untuk Negeri. Sebuah ironi hingga dewasa ini, media menyuguhkan puluhan berita kasus korupsi yang menjerat pimpinan lembaga tinggi negara, politisi, bahkan pucuk pimpinan partai. Kondisi ini menggambarkan manifestasi bahwa mereka mengejar materi dan kuasa semata. Padahal politik pada tataran nilai, adalah ibadah yang menjadi tiang tegaknya keadilan dan keselamatan dunia. Dalam beberapa kegiatan orasi politik maupun statement di media masa, Surya Paloh selalu menegaskan, bahwa jabatan formal kekuasaan dengan segala hak keuangan dan protokoler kenegaraan baginya sudah selesai. Sisa hidupnya akan terus didedikasikan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Kedua; Kemandirian Ekonomi. Sejak dini, Surya Paloh sudah membangun kerajaan bisnis. Ia melakoni bisnis sejak berusia 14 tahun. Kekayaan yang dimiliki merupakan akumulasi dari berbagai bisnis yang digeluti sampai sekarang. Semua itu bertujuan membangun kemandirian ekonomi. Proses panjang yang terus Paloh jalani telah menumbuh-kembangkan jiwa kewiraswastaan dan kepemimpinan dalam bisnis dan politik sekaligus. Perjuangan dalam kebijakan pengembangan kemandirian ekonomi tidak selalu bergantung pada posisi dan jabatan politik. Justru kemandirian ekonomi menjadi penopang kemandirian politik yang tercermin dalam kebijakan politik Paloh dalam momentum pemilu di berbagai jenjang.
Ketiga; Kebebasan Pers. Partai dan pers adalah wadah pengabdian Surya Paloh dalam mewujudkan cita-cita proklamasi. Keduanya dijadikan institusi pendidikan publik, untuk mengajarkan, melatih dan memberi teladan bagi warga yang bertanggungjawab terhadap masa depan negaranya. Studi kasus penghentian Koran Prioritas yang dibidani tahun 1985, menjadi potret upaya Paloh dalam memperjuangkan kebebasan pers demi tegaknya nilai demoratic civilization (keadaban demokrasi) dan press freedom (kebebasan pers), meski harus mengalami kerugian moril dan materil (Hal:106).
Keempat; Koalisi Tanpa Syarat. Peristiwa sejarah Partai NasDem menjelang Pilpres 2014, Surya Paloh selaku Ketua Umum Partai NasDem memiliki kesempatan besar menjadi cawapres Jokowi atas permintaan PDIP kala itu. Namun ia membuktikan sikap kenegarawanan yang tak lekang hingga saat ini. Paloh menolak dipasangkan dengan Jokowi, bahkan memberikan dukungan tanpa syarat yang kemudian menjadi tradisi khas sikap politik Partai NasDem. Keputusan melawan arus tradisi politik inilah yang paling mengesankan para tokoh bangsa di tengah mewabahnya tradisi koalisi dagang sapi.
Kelima; Politik Tanpa Mahar. Istilah mahar populer di dunia politik semenjak sistem pemilihan langsung diterapkan di Indonesia. Mahar politik menjadi rahasia umum yang dalam proses kontestasi dukung mendukung dalam pencalonan presiden atau kepala daerah. Praktek memang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan menjadi ajang kapitalisasi dukungan partai, yang tak jarang berujung sengketa karena terjadi praktek penipuan oleh oknum pengurus partai. Demi memburu rekomendasi dari partai tertentu bakal calon harus berani memberi mahar politik dengan nilai yang fantastis sesuai jumlah perolehan kursi. Sejak awal Paloh dan partai besutannya berkomitmen menolak praktek tersebut, meski harus menerima kenyataan bahwa di beberapa kasus paska-pilkada terjadi praktek pengkhiatan politik setelah calon menduduki kursi kepemimpinan.
Keenam; Keterbukaan. Terbuka dalam konteks ini, menerima persamaan dan perbedaan sebagai modal dalam merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa sebesar Indonesia dengan segala prolematika dan romantikanya, jelas tidak bisa hanya ditangani sekelompok orang, tapi mutlak membutuhkan kerja sama dari seluruh elemen bangsa. Keterbukaan adalah ciri khas modernitas yang membutuhkan kejujuran dan ketulusan. Surya Paloh dalam berbagai kesempatan selalu menekankan dua nilai terakhir sebagai nilai dasar kerja sama dan pengabdian paripurna. Bergaul dengan siapa pun, walau dengan orang yang berseberangan sekalipun tetap menjaga silaturrahmi sesama anak bangsa.
Ketujuh; Pengorbanan Tanpa Pamrih. Paloh secara istiqomah menerapkan koalisi tanpa syarat dan politik tanpa mahar sebagai garis perjuangan partai dalam mengusung pasangan calon untuk memenangkan pilpres atau pilkada. Keluarga Partai NasDem bisa konsisten karena proses pemberian surat rekomendasi kepada pasangan calon tak berdasarkan lobi “setengah kamar” beraroma pemberian uang. Namun lebih berdasar pada hasil rekam jejak dan survei sebagai basis pertimbangan penerbitan rekomendasi. Saat negara memanggil untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara, ormas Nasional Demokrat, Partai NasDem, Yayasan Sukma Bangsa, adalah tempat menyalurkan anugerah rezeki dengan niat ibadah, zakat, sedakah dan infak demi tergapainya gerakan perubahan restorasi Indonesia.
Kedelapan; Keberpihakan pada Publik. Kritik keras Surya Paloh terhadap kondisi Indonesia, pada setiap pidatonya, adalah penegasan terhadap garis pemikiran perjuangannya selama ini. Bahwa ia berada di garda terdepan untuk mengawal dan membela kepentingan publik. Dari, oleh dan untuk itulah, segala cita-cita besar digantungkan di atas langit Indonesia. Pengakuan sahabat, kolega bahkan orang yang berseberangan secara politik, menyatakan bahwa Paloh memang memiliki skill berada di episentrum kekuasaan tanpa meninggalkan sikap kritis (hal. 131).
Kesembilan; Keteladanan. Fakta bahwa Surya Paloh salah satu tokoh zaman ini yang membangun kepemimpinan bisnis, politik dan media dengan keunggulan moral dan spiritual sekaligus. Success story (cerita sukses) telah menjadi success history (sejarah kesuksesan) yang menyajikan teks keteladanan bagi anak bangsa. Terutama, di tengah bangsa ini mengalami krisis keteladanan, sebab para pemimpin bangsa banyak terperangkap dalam egoisme dan ekslusivisme yang tak jarang dipertontonkan di hadapan publik.
Konsistensi Surya Paloh sebagai aktor perubahan bangsa, dan guru asketisme bangsa, menguatkan posisinya sebagai tokoh dan contoh bagi generasi berikutnya. Surya berkuasa tanpa menjabat, berjuang tanpa gelar, memberi tanpa ketahuan. Jalan asketisme yang memilih mahkota kemajuan bangsa daripada berebut kejayaan tahta. Ia dapat membentuk keyakinanan bahwa dakwah kebangsaan tak kalah keren daripada dakwah keagamaan. Bangsa ini akan mencatat Surya Paloh sebagai penderma politik dan kemanusiaan, rela mengorbankan apa pun demi kejayaan Ibu Pertiwi, dengan warisan nilai luhur Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pijakan gerakan perubahan restorasi politik di Indonesia.
Jika pembaca hanya melihat spintas dari judul buku karya Moch Eksan ini seakan utopis, melihat konstalasi politik di Indonesia hingga dewasa ini. Akan tetapi ketika mengkaji dari konten pergumulan antara penyajian data, fakta dan refleksi dalam tiap bagian pada buku ini, kontribusi Surya Paloh dalam merestorasi politik di Indonesia, secara perlahan tapi pasti, pembaca akan menemukan relevansinya. Baik dari potret perjalanan kehidupan pribadi Paloh maupun komitmen kebijakan partai besutannya.
Dari penyajian tema besar pada buku ini, penulis menyuguhkan sebuah refleksi bahwa kontribusi Paloh dalam merestorasi Politik di Indonesia tak hanya menggugat realita, tapi juga menggugah melalui sikap dan gerakan nyata. Seperti metafora Prof Imam Suprayogo dalam pengantarnya, Bang Surya Dharma Paloh tak ubahnya seperti muadzin. Tak hanya berteriak memberi kabar dan peringatan, namun juga mengajak, menjadi iktibar dan teladan.*
*)Hayi AS – Alumni Pondok Pesantren Nuris II Mangli Jember