EBT untuk Capai Net Zero Emissions pada 2060
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (18 November): Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Arkanata Akram mengatakan Indonesia menargetkan menambah 23% sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai komitmen terhadap Perjanjian Paris tentang perubahan iklim.
”Saat ini Komisi VII DPR sedang mengerjakan RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan) guna menciptakan ekosistem demi mendukung pengembangan EBT,” ujar Arkanata seusai mengikuti Pertemuan Kemitraan Parlemen Asia-Eropa (ASEP) ke-1 secara virtual dari Jakarta, Rabu (16/11).
Arkanata menjelaskan, EBT akan meningkatkan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) di Indonesia dengan strategi jangka panjang dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) demi mencapai Net Zero Emissions pada 2060.
Legislator NasDem itu menambahkan, Indonesia juga telah mendorong implementasi biofuel dan elektrifikasi di sektor transportasi masing-masing sebesar 46% dan 30%.
”EBT sangat penting. Diharapkan EBT bisa digunakan serta dirasakan manfaatnya untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama yang ada di pelosok seperti halnya saya sendiri yang berasal dari Dapil Kalimantan Utara,” ucapnya.
Arkanata juga mengatakan, Indonesia sedang dalam proses pengembangan food estate sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan. Food estate merupakan salah satu program strategis nasional 2020-2024 sebagai sistem pengembangan pangan terpadu yang meliputi pertanian berkelanjutan, peternakan, pertanian berbasis masyarakat, dan berbagai sektor terkait.
”Saya melihat tak hanya terkait EBT dan food estate, Pemerintah Pusat juga bekerja sama dengan pemerintah daerah melaksanakan program Rehabilitasi Lahan dan Hutan (RLH) sebagai upaya mengurangi potensi krisis air. Hal ini sejalan dengan target SDGs Nomor 6 tentang memastikan akses air dan sanitasi untuk semua,” tandas Arkanata.
Legislator NasDem itu menambahkan, saat ini hampir setiap negara sedang menghadapi beberapa tantangan mulai dari anggaran yang terbatas, kurangnya teknologi, serta sistem birokrasi yang kompleks.
”Kita harus menekankan kembali pentingnya lembaga parlemen. Anggota parlemen bisa mengintensifkan peran mereka dalam mengatasi tantangan melalui fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi,” paparnya.
Selain itu, tambah Arkanata, anggota parlemen juga harus mengambil lebih banyak inisiatif untuk mendorong kolaborasi antarnegara.
“Kami percaya bahwa tidak ada negara yang mampu mengatasi masalah ini sendirian. Kami juga menyerukan lebih banyak kerja sama dan dukungan internasional melalui kerangka kerja multilateral dan bilateral untuk mengatasi tantangan ini bersama-sama,” tandasnya.
Perubahan iklim telah menjadi perhatian semua orang dan negara-negara dalam beberapa dekade terakhir, karena iklim dalam keadaan darurat. Jika tidak dapat mencapai target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, perubahan iklim akan memiliki dampak besar yang merugikan kebutuhan dasar manusia seperti air, energi, dan ketahanan pangan.
Data terbaru menunjukkan, setidaknya ada 155 juta orang di 55 negara berada dalam krisis pangan, dan lebih dari 124 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan.
Menanggapi persoalan yang terjadi akibat perubahan iklim, Indonesia menyoroti tiga hal yang dapat dilakukan guna keluar dari situasi darurat, yakni Energi Baru dan Terbarukan (EBT), pengembangan Food Estate dan Program Rehabilitasi Lahan dan Hutan (RLH).(dpr.go.id/*)