RUU TPKS Perang Melawan Ancaman Kekerasan Seksual
Oleh : Atang Irawan
Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem
Kekerasan dalam bentuk apa pun dan dilakukan siapa pun ialah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang harus segera dihapuskan. Negara memiliki tanggung jawab untuk segera merespons dengan kebijakan, dalam rangka mengantisipasi untuk menghentikan kekerasan. Negara harus sesegera mungkin mengambil kebijakan yang bersifat luar biasa (extraordinary), dalam rangka memberikan perlindungan terhadap warga negara yang sejatinya merupakan tujuan bernegara.
Dalam pemikiran Socrates, ‘Tujuan negara adalah bukan semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Tugas negara adalah untuk menciptakan hukum, yang harus dilakukan para pemimpin atau para penguasa yang dipilih secara saksama oleh rakyat’.
Dengan demikian, negara terbentuk dalam rangka terpenuhinya perlindungan hak-hak fundamental warga negaranya. Negara memiliki kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct), yaitu melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result), yaitu mencapai tujuan yang diamanatkan dalam konstitusi. Diamnya negara (by omission), atau tidak melakukan sesuatu tindakan, atau bahkan gagal mengambil kebijakan yang menjadi kewajiban hukum, merupakan pelanggaran.
Falsafah kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dirumuskan founding father sangatlah tegas. Sebagaimana dituangkan dalam alinea IV UUD 1945 bahwa kehadiran negara salah satunya bertujuan melindungi rakyatnya. Bahkan, disebutkan yang pertama sebagai tujuan pembentukan NKRI ialah ‘kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Dengan demikian, melindungi rakyat (social defence) dari kejahatan apa pun menjadi kewajiban negara. Bahkan, negara tidak boleh membiarkan rakyatnya dari ancaman ketakutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28G ayat (2) UUD 1945.
Walaupun konstitusi tegas terhadap perlindungan hak atas ancaman kekerasan, tidak setiap warga bebas dari ancaman kekerasan, termasuk ancaman kekerasan seksual. Yang paling banyak menjadi korban ialah perempuan dan anak, meskipun ancaman kekerasan dan kekerasan terjadi pula terhadap laki-laki. Komnas Perempuan sejak 2001 mencatat bahwa kekerasan seksual salah satu jenis kekerasan yang kerap terjadi, bahkan setiap tahun cenderung meningkat.
Kejahatan berat
Meletakkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dapat mengakibatkan degradasi derajat tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang kemudian hanya meletakkan kejahatan kekerasan seksual sebagai kejahatan moralitas. Sebagaimana diatur dalam KUHP bahwa kejahatan seksual (perkosaan) hanya pelanggaran terhadap norma moralitas. Bahkan, normanya tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap korban sehingga berdampak pada melemahnya upaya penyelesaian secara hukum.
Padahal, Presiden Jokowi saat membuka sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, pada 10 Mei 2016, menyatakan kejahatan seksual yang marak terjadi sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani serius. Jokowi menyatakan, “Saya ingin agar ini menjadi sebuah kejahatan luar biasa sehingga penanganannya juga penanganan dan tindakan luar biasa.”
Selain KUHP, peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah UU No 35 Tahun 2014, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahkan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum bisa menjangkau/menyentuh perlindungan terhadap korban dan saksi. Itu karena tiga UU tersebut hanya terbatas pada korban kekerasan dalam rumah tangga, anak, dan perdagangan manusia.
RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) merupakan upaya hukum progresif dalam rangka menjawab problem darurat kekerasan seksual. Bahkan, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui laporan kepada Presiden Joko Widodo pada 2016 menyatakan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) digagas sejak 2012.
RUU TPKS disusun Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang diserahkan kepada pimpinan DPR pada 6 Juni 2016. Pada 8 Juni 2016, Komnas Perempuan mendatangi Istana Merdeka Jakarta menyerahkan draf RUU PKS kepada Presiden Joko Widodo.
Keberadaan RUU TPKS meskipun selalu masuk dalam Prolegnas, hingga kini masih belum ditetapkan sebagai UU. Pada 20 Juni 2016, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU PKS masuk Prolegnas Prioritas 2016. Kemudian, pada 5 Desember 2017 kembali ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR menjadikan RUU TPKS (inisiatif DPR) sebagai salah satu dari 50 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2018.
Hingga 2019, RUU TPKS belum juga ditetapkan. RUU TPKS kembali ditetapkan masuk Prolegnas dalam periode 2019-2024, yaitu pada 17 Desember 2019 hingga akhirnya dikeluarkan dalam Prolegnas 2020 dan dimasukkan kembali pada Prolegnas 2021.
Berbagai argumentasi upaya penolakan RUU TPKS muncul, dari terminologi kekerasan seksual yang dinilai tidak tepat hingga harus menunggu pengesahan RUU KUHP sebelum membahas RUU PKS. Termasuk dipertentangkan isi draf RUU TPKS dengan nilai-nilai socio-cultural dan religious serta falsafah kebangsaan Pancasila. Demikian halnya dengan semangat asing (ideologi feminisme), bahkan sampai dengan kesiapan anggaran negara jika RUU ini ditetapkan dalam suasana pandemi. Memang sangat ironis perjalanan politik legislasi pembahasan RUU TPKS. Padahal, bangsa ini dalam suasana darurat kekerasan seksual, yang berkecenderungan setiap waktu semakin bertambah banyak.
Sensitivitas negara dan elemen masyarakat terhadap pengisapan atas nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk ancaman kekerasan dan kekerasan, tampaknya melemah hingga pada titik nadir. Meskipun dalam negara demokrasi perbedaan pandangan ialah kewajaran, perbedaan harus diletakkan sebagai dinamika untuk mengambil sebuah keputusan.
Diskursivitas sesungguhnya kekuatan membangun dialog, baik di legislatif maupun di ruang publik untuk menemukan solusi atas diskursus yang berkembang. Bahkan, UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019, membuka ruang lebar partisipasi politik rakyat dalam segala proses tahapan pembentukan undang-undang.
Fondasi bangsa ini lahir dari akar perbedaan berbagai macam perspektif, baik SARA maupun lain sebagainya. Namun, berbagai macam perbedaan tersebut justru menjadi kekuatan mahadahsyat dalam membangun bangsa ini. Hingga akhirnya, mendeklarasikan sebagai sebuah negara yang merdeka, yaitu NKRI. Maka, sejarah panjang bangsa ini telah meletakkan dialog sebagai ruang untuk menyatukan pikiran-pikiran berbeda, dalam sebuah kebijakan strategis bagi kepentingan kebangsaan, dalam rangka mencapai tujuan bangsa serta meninggikan derajat kemanusiaan.
Memerdekakan manusia, yang berarti melindungi manusia dari berbagai ancaman kekerasan ialah cita-cita luhur kebangsaan sebagai tujuan berdirinya bangsa ini. Maka dari itu, kebijakan negara menjadi sangat penting untuk segera mengakhiri kekerasan seksual dalam sebuah negara demokrasi. Responsibilitas negara untuk mengakomodasi fakta-fakta empiris yang bersifat masif dan merugikan hak-hak fundamental rakyat ialah kewajiban. Bahwa sejatinya, kebijakan negara salah satunya melalui peraturan perundang-udangan bertujuan menciptakan rasa keadilan rakyat.
Musuh bersama
RUU PKS, kini ditetapkan kembali dalam Prolegnas 2021 meskipun bukan sebagai RUU carry over sehingga harus dirumuskan ulang oleh DPR yang kebetulan dijalankan melalui panitia kerja. Saat ini, RUU TPKS sedang dalam tahapan proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), yang diharapkan menemukan formulasi yang tepat untuk menyatukan perbedaan pandangan dalam rangka memformulasikan RUU PKS.
Disahkannya RUU TPKS sangatlah penting dalam rangka memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, khususnya terhadap peristiwa ancaman kekerasan dan kekerasan seksual. Apalagi, saat ini dalam suasana bangsa menghadapi darurat kekerasan seksual, tentunya ancaman kekerasan dan kekerasan seksual berada dekat dengan rakyat yang dapat terjadi setiap saat, pada siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Itu termasuk kekerasan seksual yang dilakukan melalui cyber space.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, per 3 Juni 2021 terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan lebih dari setengahnya ialah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Jalan panjang dan terjal dalam politik legislasi saat ini sangatlah memilukan. Masih saja hal-hal yang bersifat substantif bagi perlindungan bangsa tidak menjadi prioritas, bahkan hanya diletakkan dalam ruang prosedural. Ketika ada perbedaan pandangan, nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dilindungi menurut konstitusi, acap kali luput dari kebijakan politk legislasi.
Menghadapi darurat kekerasan seksual yang cenderung semakin bertambah dari waktu ke waktu, perang melawan kekerasan seksual melalui RUU TPKS menjadi sebuah keharusan bagi seluruh elemen bangsa. Sejatinya kekerasan ialah musuh bersama bagi perjuangan kemanusiaan. Kemerdekaan manusia sejatinya ialah menghilangkan rasa takut dari ancaman apa pun terhadap dirinya, termasuk ancaman kekerasan seksual.