RUU TPKS Disetujui untuk Disahkan Jadi UU
JAKARTA (12 April): Setelah berkali-kali gagal membangun kesepahaman di parlemen, akhirnya DPR RI menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan menjadi UU. Persetujuan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4) . Rapat dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani.
Wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya saat menyampaikan laporan hasil pembahasan RUU TPKS mengatakan, beleid tersebut terdiri dari 93 pasal dan 8 Bab. Pembahasan dilakukan Baleg DPR secara maraton dan intensif dengan melibatkan partisipasi publik secara luas.
RUU TPKS yang semula bernama RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) hampir terjegal lagi karena tidak bulatnya pemahaman terhadap bentuk kekerasan seksual. Namun dengan dukungan penuh seluruh anggota Fraksi Partai NasDem, disokong anggota Fraksi PDIP dan PKB akhirnya dapat disepakati bahwa RUU baru itu hanya akan membahas bentuk tindak pidana kekerasan yang mengarah pada hal-hal seksual.
Willy menjelaskan berbagai perspektif yang berkembang di publik dan anggota DPR dipertemukan dalam dialog-dialog yang terbuka. Semua berkeinginan sama untuk menghukum keras pelaku tindak kekerasan seksual namun juga memberi perhatian besar kepada korban.
“Pembahasan dimulai 28, 29, 30, 31 Maret, hingga 6 April 2022. Ini sebuah UU yang dibahas cukup ekspres. Ini sesuai dengan komitmen politik Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk menyegerakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini,” tandas Willy.
Legislator Partai NasDem itu mengatakan, komitmen politik pemerintah, DPR, dan partisipasi publik sangat besar terhadap RUU TPKS. Tidak kurang Presiden Joko Widodo pun merasa perlu memberi penekanan untuk segera adanya UU yang menghukum pelaku kekerasan seksual. Dalam pembahasan RUU TPKS, sedikitnya 120 kelompok masyarakat sipil diterima dan dilibatkan dalam proses penyusunan RUU TPKS.
Willy menguraikan, ada beberapa hal yang sangat penting dan progresif dalam RUU TPKS. Di antaranya, RUU tersebut berpihak dan berperspektif kepada korban.
“Yang kedua, aparat penegak hukum memiliki hukum atau legal standing yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual. Yang ke tiga, ini adalah kehadiran negara memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es,” tambahnya.
Selain itu, tambah Willy, negara juga hadir melindungi korban kekerasan seksual melalui dana kompensasi atau dana bantuan korban. Dana inilah yang akan digunakan sebagai kehadiran negara tatkala pelaku tidak memiliki harta yang dapat membayarkan kerugian korban. Walau demikian pelaku juga tetap harus menjalani hukumannya selama negara menanggung kompensasi bagi korban.
“Ini adalah sebuah langkah maju. Pengesahan RUU TPKS merupakan penantian korban, penantian perempuan Indonesia, dan penantian anak-anak Indonesia untuk bebas dari para predator seksual. Semoga ini menjadikan kita memuliakan perempuan dan anak,” pungkas Willy.
(Dis/*)