NasDem Dorong RI Galang Kekuatan di G20 Sikapi AS

Getting your Trinity Audio player ready...

JAKARTA (18 April): Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan menilai pernyataan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen merupakan ancaman bagi Indonesia. Namun, menurut Farhan pernyataan itu bukan sikap resmi Presiden AS Joe Biden.

Menkeu AS menegaskan bahwa Rusia harus dikeluarkan dari forum ekonomi utama G20. Ia juga mengancam bahwa AS akan memboikot sejumlah pertemuan G20 jika pejabat Rusia hadir.

Legislator NasDem itu mendorong Pemerintah Indonesia melakukan manuver bila enggan mengeluarkan pernyataan yang tegas.

“Diam-diam bergerak di belakang AS menggalang kekuatan, sehingga tanpa disadari sudah sangat kuat dan memaksa AS berubah pikiran,” kata Farhan dalam Crosscheck by Medcom.id bertajuk ‘Ancam Boikot G20, Amerika Intervensi Kedaulatan Presidensi Indonesia’ secara virtual, Minggu (17/4).

Farhan mengatakan, Biden masih bisa berkompromi ihwal kehadiran Rusia.

“Tapi Biden juga bilang kalau Presiden Indonesia (Presiden Joko Widodo) keberatan, paling tidak Ukraina diundang juga,” tambahnya.

Farhan mendorong Indonesia untuk bisa menggalang diskusi atau kesepakatan dengan sejumlah negara. Misalnya India dan Brasil lantaran memiliki banyak persamaan dengan Indonesia.

“Bikin positioning bersama karena ini sangat strategis. Indonesia, India, dan Brasil punya peluang yang sangat baik menjadi penyeimbang tarik-menarik kepentingan dan kekuatan politik level dunia,” kata Farhan.

Masih menurut Farhan, situasi global sedang menghadapi tarik-menarik. Pemenang tidak ditentukan dari negara yang berjalan sendiri, melainkan dalam kelompok.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Barat I (Kota Bandung dan Kota Cimahi) itu juga mengusulkan agar Menlu Retno Marsudi segera berkomunikasi dengan negara lain.

“Kita mengharapkan menteri-menteri yang menjadi counterpart dari Yellen memberi positioning,” tambah dia.

Farhan menegaskan komunikasi itu bukan untuk memojokkan satu pihak ihwal kehadiran Rusia di G20, melainkan mendorong transparansi sikap seluruh negara.

“Kesalahan terbesar berdiplomasi adalah memojokkan untuk memilih pro atau kontra. Tapi diplomasi modern mengajak orang agar kita membuat posisi bersama,” pungkasnya.

(medcom/*)

Add Comment