Damai dan Resolusi Konflik
Oleh : Yusadar Waruwu
Alumni Lulusan Akademi Bela Negara (ABN) Angkatan 1
Damai adalah suatu kondisi harmoni tanpa pertentangan atau konflik, baik itu konflik secara verbal maupun non-verbal yang biasanya terjadi antara individu atau kelompok dalam lingkungan sosial masyarakat. Konflik verbal meliputi pertentangan secara fisik antara individu dengan individu atau kelompok sementara konflik non-verbal merupakan situasi yang tidak selaras pada aspek berpikir atau pertentangan gagasan yang pada akhirnya hanya akan menumbuhkan gap sebagai pemisah di antara individu atau kelompok itu sendiri. Menurut Paolo Friere, damai adalah dimensi kemurahan hati yang bertujuan untuk mengikis penyebab suatu pertempuran. Selanjutnya definisi yang searah dan sangat singkat dapat kita lihat dalam Wikipedia, yang menegaskan kondisi damai adalah ketiadaan perang.
Dengan demikian, situasi damai sangat berkaitan erat dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu konflik. Kedamaian bahkan dapat dikonotasikan sebagai sesuatu hal yang positif dan dikehendaki oleh dunia. Apa yang diterima baik, dan berkenan kepada manusia, tentu juga berkenan kepada Tuhan, dan sebaliknya hal-hal yang tidak diterima oleh manusia tentunya juga bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Terciptanya situasi damai sebagai sesuatu yang sangat diharapkan oleh dunia dianggap mampu menggerus karakter individualisme dan egoisme manusia serta dapat dipastikan akan berdampak pada eksistensi manusia itu sendiri yang kemungkinan akan terhindar dari degradasi moral yang dampaknya bisa meluap dan memicu terjadinya pertikaian. Terciptanya kedamaian juga telah menjadi cita-cita besar para founding father bangsa kita bangsa Indonesia ini, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai staat fundamental norm (kaidah fundamental atau norma tertinggi negara).Pada aline ke-empat yang menegaskan bahwa “ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan dan keadilan sosial”. Secara eksplisit pada alinea empat ini ditegaskan seyogianya bangsa ini memiliki cita-cita moral untuk terus berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian baik di lingkungan nasional maupun di mata dunia internasional.
Cita-cita perdamaian ini beserta serangkaian aksi solidaritas yang diprakarsai Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia jelas mendeskripsikan bahwa perdamaian sangat penting sebagai sebuah nilai-nilai universal. Dapat dibuktikan, bahwa saat ini Indonesia kerap terlibat dalam upaya perdamaian yang tidak hanya secara internal/ skala nasional tetapi juga pada skala internasional. Seperti contoh, Kontingen Garuda yang diterjunkan di beberapa negara seperti Irak, Lebanon, Vietnam, Kongo dan Masir. Upaya ini membawa misi perdamaian antar dunia. Tidak hanya itu, berbagai upaya diplomasi juga tetap di mobilisasi oleh Indonesia demi terciptanya cita-cita perdamaian dunia seperti halnya yang dilakukan di negara Palestina dan Myanmar.
Serangkaian upaya perdamaian dunia di kancah internasional ini tentu memiliki banyak dampak positif dan peluang-peluang strategis untuk memajukan bangsa ini. Dengan terbangunnya hubungan bilateral yang harmoni akan mudah untuk meningkatkan pembangunan suatu negara dalam berbagai sektor. Dengan demikian, percepatan pembangunan dan transformasi dalam berbagai sektor antara negara dapat terwujud dengan cepat dan signifikan. Kemudian daripada itu, tujuan paling mendasar dalam upaya perdamaian dunia ini tidak lepas dari harapan akan menurunkan ketegangan dunia dan menghindari berbagai konflik.
Kemunduran dan Degenerasi
Cita-cita menuju dunia yang damai tidak boleh dibiarkan mengalami abrasi yang semakin dalam. Terlepas dari konflik atau persoalan dunia internasional, hal yang sangat naas bisa kita saksikan terjadi dalam negeri sendiri. Ada banyak pemikiran, sikap dan tindakan angkara dan bengis yang justru kita pertontonkan kepada dunia luar. Hal ini justru menimbulkan kekhawatiran kita sebagai anak bangsa dengan kondisi yang menunjukkan semakin suburnya pola pemikiran segelintir oknum atau kelompok masyarakat yang mengalami kemunduran dan degenerasi. Sikap tidak peduli, individualisme serta menghilangnya ekspresi yang mendorong semangat kegotongroyongan telah secara perlahan mencemarkan cita-cita perjuangan bangsa ini yang telah dengan totalitas dan konsisten menginisiasi upaya perdamaian dunia. Mereka bahkan lupa betapa tidak sedikit darah yang tertumpah dan mengalir hanya untuk melahirkan dan mempertahankan persatuan, kedamaian antar berbangsa dan bernegara dalam satu fondasi dan ideologi yang disebut Pancasila.
Kondisi yang memprihatinkan ini dibuktikan dengan sikap segelintir oknum atau kelompok-kelompok tertentu di Indonesia yang terlihat sedikit mengalami kesulitan atau gangguan tersendiri untuk hidup beradaptasi terhadap situasional bangsa kita yang pluralis dan multikulturalis. Sikap dan tindakan intoleran yang bahkan telah terang-terangan mulai muncul di permukaan, dan dengan sampai hati melukai bangsa ini dan merah matinya. Cita-cita perdamaian antar sesama anak bangsa telah tertikam pedih oleh pertikaian yang tidak merawat persatuan dalam perbedaan dan kemajemukan. Mereka lupa dan telah menyibakkan diri dari pandangan penggagas negeri ini yaitu Ir. Soekarno yang pernah menekankan bahwa “jadi gerombolan manusia, meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itulah bangsa”.
Gonjang-ganjing dari paham primordialisme ini telah hadir di Indonesia pasca kemerdekaan, dengan munculnya kelompok-kelompok separatis yang hendak memaksakan kehendak untuk mengubah falsafah dan ideologi negara kita yang bernama Pancasila. Seiring dengan perkembangannya hingga saat ini, bangsa ini memang masih mampu mengantisipasi berbagai ancaman sekelompok masyarakat yang anti terhadap kedamaian dan keberlangsungan hidup bangsa ini. Namun, tidak ada yang menjamin bahwa konsep pemikiran miris dan radikal ini telah mati hingga ke akar-akarnya. Misalnya kelompok pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), pemberontakan Maluku Selatan (RMS), dan yang terakhir adalah pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta beberapa kelompok separatis lainnya di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri pergerakan yang telah dan terus ditumpas untuk mempertahankan keutuhan dan kedamaian bangsa ini, juga tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran primordialisme ini masih berseliweran dan melakukan proxy-nya baik secara horizontal terhadap kelompok-kelompok lain, maupun secara vertikal ke bawah yang memungkinkan menyisir kelompok-kelompok masyarakat yang konsep pemikirannya masih belum sepenuhnya utuh terhadap pentingnya keutuhan dan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara.
Melihat kondisi yang semakin mengancam keberadaan Pancasila sebagai fondasi dan ideologi bangsa Indonesia, serta ancaman yang berusaha merusak kesatuan, keutuhan dan kedamaian bernegara maka, upaya-upaya penyadaran harus dilakukan secara kontinu ditumbuhkan sebagai resolusi konflik terhadap persoalan yang telah menjadi ancaman bangsa ini.
Secara umum ada tiga metode yang biasa digunakan sebagai resolusi konflik diantaranya metode mediasi, arbitrasi, dan konsiliasi. Ketiga metode resolusi konflik sosial ini dilakukan dengan tetap membutuhkan pihak-pihak ketiga sebagai penengah konflik. Namun tidak semua konflik akan mudah diselesaikan hanya dengan mengandalkan dengan ketiga metode tersebut. Terdapat juga beberapa konflik yang tidak harus melibatkan pihak-pihak ketiga, tergantung dengan situasional dan pokok penyebab konflik itu sendiri. Penyelesaian konflik mungkin akan lebih mendekati persentase yang cukup baik apabila diawali dengan pendekatan-pendekatan yang mampu menciptakan stabilitas suasana kebatinan.
Menjalani kehidupan yang seimbang serta tidak memaksakan kehendak terhadap yang lain adalah nafas menuju pada kedamaian. Manusia lahir dari pelbagai perbedaan dan keanekaragaman seperti perbedaan karakter, bahasa dan kebudayaan serta pilihan masing-masing individu yang juga berbeda. Kesadaran akan perbedaan dan hak kebebasan (liberty) yang hakiki bagi masing-masing individu atau kelompok sosial setidaknya akan membantu pencegahan terjadinya konflik. Silang pendapat antara individu atau kelompok hanya bisa teratasi dengan pemikiran yang terbuka dan dewasa serta saling berpengertian. Pola pemikiran yang sadar ini sesungguhnya akan sangat membantu terhindar dari kemungkinan munculnya suatu konflik. Indonesia ini besar dan disegani bukan semata-mata dilihat dari sisi materi yang terkandung di dalamnya. Selain itu, di mata internasional hingga saat ini Indonesia masih dipandang sebagai negara yang besar dan kuat karena keragaman yang dimiliki. Indonesia tidak dikotak-kotakkan oleh perbedaan dan keragaman yang ada, hal ini hanya akan mempersempit dan membatasi ruang lingkup bangsa itu sendiri menjadi bangsa yang kecil.
Lalu bagaimana pemahaman sadar ini dapat termanifestasikan kepada kelompok-kelompok separatis yang masih berkeliaran di Indonesia? Menjawab hal ini tentunya kembali pada langkah tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pada kasus ini, Pemerintah perlu harus melakukan elaborasi terhadap seluruh kaum muda remaja khususnya di daerah atau wilayah yang dianggap telah terkontaminasi dengan paham yang tidak lagi sejalan dengan Pancasila. Langkah ini dilakukan secara tersistemik serta terfokus pada penanaman nilai-nilai kebangsaan yang sesungguhnya. Gerakan ini bertujuan untuk membendung dan memutuskan rantai paham yang telah terafiliasi dalam kelompok radikalisme hingga ke akar-akarnya.
Membangun Generasi Muda
Kaum muda remaja adalah generasi yang akan meneruskan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa depan bangsa dan keselamatan jiwa bumi Pancasila ini utamanya berada di tangan kaum muda remaja. “Jika ingin menghancurkan suatu bangsa, maka hancurkan generasi mudanya”, pesan Soekarno. Pernyataan keras Presiden Indonesia yang pertama ini telah dengan jelas menyampaikan kunci utama dari kehancuran suatu bangsa yaitu generasi muda bangsa itu sendiri. Berdasarkan pernyataan ini kita dapat memahami peran dan fungsi strategis pemuda dalam suatu negara. Dengan demikian, sebaliknya generasi muda juga sebagai kunci dari keberhasilan dan kemajuan suatu bangsa. Saya bisa mengadopsikan kalimat ini menjadi “Jika ingin memajukan suatu bangsa, maka bangun generasi mudanya”.
Membangun generasi muda, tentunya diawali dengan pendidikan-pendidikan yang berkualitas untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh generasi muda bangsa ini. Sementara itu, korelasi pendidikan sangat berkaitan dengan upaya penetasan konflik yang didalangi oleh kaum separatis di Indonesia misalnya kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka dan kelompok-kelompok lainnya. Pada kasus ini, pemerintah dapat memanfaatkan kekuatan seluruh kaum muda remaja di wilayah atau daerah-daerah tersebut tentunya dengan bekal pendidikan yang mumpuni. Selain itu, pendidikan yang dimaksud dalam konteks sumber daya materi seyogianya tidak membebani para kaum muda remaja itu sendiri. Kaum muda remaja tersebut harus juga merasakan arti kehadiran negara dengan memfasilitasi pendidikan mereka melalui program pendidikan gratis dan beasiswa.
Akhirnya, dengan perbekalan sumber daya manusia dan kesadaran akan pentingnya keutuhan, kesatuan serta perdamaian suatu bangsa, niscaya negara ini akan segera sampai pada kemajuan yang hebat dan dapat sejajar dengan negara-negara lain secara global. Generasi muda juga akan menjadi ujung tombak yang tidak lagi hanya mendeklarasikan kedamaian, akan tetapi generasi muda juga akan menjadi bagian dari kedamaian dalam negeri ini, menjadi iluminasi yang menerangi dan tidak mudah lagi terprovokasi.