NasDem Dorong DPR Tuntaskan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
JAKARTA (13 Juli): 18 tahun berlalu RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hingga hari ini masih mandek di tingkat pembahasan sejak pertama kali diajukan pada 2004 lalu. NasDem mendorong agar RUU tersebut dapat segera ditetapkan sebagai undang-undang di masa sidang ini.
“Kalau misalnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga itu selalu lamban dalam pembahasan maka ini akan berimplikasi pada rendahnya tanggung jawab negara terhadap perlindungan hak-hak fundamental rakyat,” kata Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP NasDem, Dr. Atang Irawan saat ditemui Media Center DPP NasDem, baru-baru ini.
Atang mengajak semua pihak dapat membuka ruang dialog serta menemukan solusi terbaik bagi keberlangsungan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga agar segera ditetapkan sebagai Undang-Undang di masa sidang ini.
“Mari kita bersama-sama membuka cakrawala berpikir. Perbedaan harus kita jadikan sebagai semangat untuk membangun bangsa ini lebih baik,” kata dia berapi-api.
Atang melihat RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sangat penting dan signifikan bagi Republik ini. Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi juga telah mengamanatkan kepada negara untuk senantiasa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
“Apalagi kalau kita membaca narasi dalam UUD 45 dari pasal 27 maupun pasal 28 bahwa ini merupakan hak konstitusional bagi rakyat Indonesia untuk mendapat pekerjaan,” kata dia.
Menurut dia setiap warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan hukum mengenai bentuk jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, atas dasar bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Atang menilai kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, berhak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan memperoleh perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja menjadi semangat dalam RUU tersebut.
“Tapi problem yang paling penting adalah sejak dalam terminologi pekerja rumah tangga itu sudah terdiskriminasi. Bahwa pekerja rumah tangga dalam Republik ini dianggap bukan sebagai worker tetapi dianggap sebagai helper maka saya anggap ini sangat penting untuk kita memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia,” kata dia.
Atang menilai perlu adanya perhatian terhadap hak-hak normatif bagi pekerja rumah tangga. Pasalnya selama ini hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja pada umumnya hanya diatur berlandaskan pada rasa saling percaya saja.
Menurut dia selayaknya sebagai seseorang yang juga menerima upah, perintah dan pekerjaan, secara normatif sebenarnya PRT juga dapat disebut sebagai seorang pekerja yang juga berhak atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.
“Paling penting sesungguhnya secara sosiolkultural itu memang ada kearifan lokal maka RUU ke depan harus membagi begitu detail mana pekerja rumah tangga yang menggunakan perspektif sosiokultural dan yang kedua dalam perspektif normatif,” kata dia.
Atang meyakini bisa saja skema itu digunakan dengan menggunakan perspektif normatif yang diletakkan sebagai pekerja rumah tangga apabila pekerja rumah tangga itu direkrut melalui sebuah badan hukum khusus di bidang pekerja rumah tangga.
Namun yang terpenting menurut dia adalah seluruh dimensi yang ada harus terakomodir dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU ini harus menjadi prioritas yang benar-benar diprioritaskan sebagai bentuk hadirnya payung hukum untuk masyarakat.
“Karena ini terkait hak-hak fundamental rakyat dan juga aspek perlindungan dari negara terhadap hak rakyat,” pungkas dia.
(WH)