Output Pendidikan Harus Sesuai Kebutuhan Bangsa
JAKARTA (19 Agustus): Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmad Gobel mengapresiasi dan juga mewanti-wanti tentang jumlah anggaran pendidikan yang mencapai Rp608,3 triliun.
“Ini memang sesuai dengan amanat undang-undang yang harus 20 persen dari total APBN. Namun angka yang besar ini harus menelurkan sumberdaya manusia yang sesuai dengan tantangan bangsa dan negara ke depan,” kata Gobel, Kamis (18/8).
Gobel mengemukakan itu untuk menyokong pidato Presiden Joko Widodo tentang Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN 2023 dan Nota Keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (16/8).
Pada kesempatan itu, Presiden menyampaikan bahwa total belanja negara adalah Rp3.041,7 triliun. Angka defisit ditargetkan 2,85% terhadap PDB. Target lainnya adalah, pengangguran terbuka 5,3%-6%, angka kemiskinan 7,5%-8,5%, rasio gini 0,375-0,378, indeks pembangunan manusia 73,31-73,49, serta nilai tukar petani (NTP) 105-107 dan nilai tukar nelayan (NTN) 107-108.
Presiden menyampaikan, APBN 2023 akan difokuskan pada lima agenda utama, nomor satu adalah tentang penguatan kualitas SDM unggul yang produktif, inovatif, dan berdaya saing melalui peningkatan kualitas sistem pendidikan dan kesehatan, serta akselerasi reformasi sistem perlindungan sosial.
Presiden menyatakan, anggaran pendidikan sebesar itu untuk memanfaatkan bonus demografi dan untuk kesiapan menghadapi disrupsi teknologi.
Upaya untuk peningkatan kualitas SDM itu, kata Presiden, ada lima hal, yaitu peningkatan akses pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan; peningkatan kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan, terutama di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan; penguatan link and match dengan pasar kerja; pemerataan kualitas pendidikan; dan penguatan kualitas layanan PAUD.
Selain itu, katanya, juga memperkuat investasi pendidikan seperti perluasan beasiswa, pemajuan kebudayaan, penguatan perguruan tinggi kelas dunia, dan pengembangan riset dan inovasi. Pada bagian lain, Presiden juga menyatakan tentang keharusan meningkatnya daya saing produk manufaktur nasional di pasar global.
Gobel mendukung semua visi dan program Presiden tentang pendidikan tersebut. Namun ia mengingatkan bahwa visi dan program tersebut harus bisa diterjemahkan secara tepat oleh para menteri, khususnya oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
“Harus ada roadmap tentang pembangunan kualitas sumberdaya manusia yang sesuai dengan kebutuhan riil bangsa dan negara Indonesia,” tandas Legislator NasDem itu.
Sebagai contoh, ia menyebutkan kaitan pendidikan dengan tuntutan industri dan perkembangan ekonomi ke depan.
“Mendikbud harus datang ke Menaker, ke Menperin, ke Menteri ESDM, ke Mentan. Apa yang mereka butuhkan. Mengapa? karena Presiden dengan jelas menyatakan prioritasnya tentang hilirisasi industri, akselerasi sektor pangan dan energi, serta tentang daya saing Indonesia di dunia internasional. Jadi harus ada link and match antara pendidikan dengan pasar kerja maupun dengan tantangan bangsa dan negara itu sendiri,” tandas Gobel.
Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu menyatakan, di tengah situasi perubahan iklim dan geopolitik global maka dunia akan menghadapi pasokan dan keterjangkauan harga pangan dan energi. Karena itu, Indonesia harus bisa berdaulat di bidang pangan dengan membangun sektor pertanian dan industri pangan.
Hal serupa juga harus dilakukan di sektor energi dengan membangun energi baru dan energi terbarukan. Pada sisi lain, Indonesia juga sedang berjuang untuk masuk sebagai negara berpendapatan tinggi dengan menguatkan industri dan UMKM.
Lebih lanjut Gobel menyatakan, Mendikbud juga harus membuat key performance indicator yang konkret untuk setiap kebutuhan tenaga kerja dan kualitas sumberdaya manusia di tiap sektor.
“Harus terukur secara matematis. Bukan hanya manis dan indah dalam rumusan. Misalnya tentang kebutuhan terhadap sumberdaya pertanian, handicraft, industri hilir, dan seterusnya. Saat ini para master ukir, master batik, master tenun makin sulit ditemukan. Padahal sumbangannya terhadap ekonomi cukup besar,” ujarnya.
Karena itu, ia mengkritisi kebijakan Mendikbud yang lebih banyak bicara konsep-konsep besar maupun belajar secara digital.
“Jaringan komunikasi saja belum merata, belum lagi soal kemampuan masyarakat untuk memiliki tablet atau laptop. Lebih baik bicara lebih membumi dan sesuai kebutuhan pasar,” imbuhnya.
Karena itu, Gobel mengingatkan tentang efektivitas anggaran pendidikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja. Meski tiap tahun alokasi untuk anggaran pendidikan terus meningkat, dampaknya terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja masih jauh dari yang diharapkan.
Sampai saat ini, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih relatif rendah. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO), pada 2021 lalu produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di posisi 107 di antara 185 negara.
Sedangkan berdasarkan purchasing power parity (PPP), kata Gobel, produktivitas tenaga kerja Indonesia per jam terhadap PDB baru mencapai US$13,1, jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang masing-masing US$16,0 dan US$15,2. Ini menunjukkan kebijakan pendidikan yang belum terkoneksi dengan realitas kebutuhan dan tantangan bangsa.
Menurut Gobel, masih rendahnya produktivitas tenaga kerja itu akan sangat merugikan. Tidak hanya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, tapi juga pada upaya memaksimalkan daya saing perekonomian nasional untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu negara industri maju pada 2045. Rendahnya produktivitas tenaga kerja juga akan membuat kehilangan dampak bonus demografi yang menjadi salah satu keunggulan Indonesia.
Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengatakan, Mendikbud dituntut untuk merancang program pendidikan yang lebih efektif dan tepat guna atau link and match dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar ke depan. Sinergi antar lembaga negara, dunia pendidikan dan dunia usaha harus lebih digalakkan. (nasihin/*)