Perbaikan Tata Kelola Museum Harus Jadi Gerakan Bersama
JAKARTA (11 Oktober): Perlu gerakan bersama dan political will pemerintah serta partisipasi masyarakat dan komunitas untuk membenahi tata kelola museum yang memperihatinkan saat ini.
“Terbengkalainya museum saat ini karena museum dinilai tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak. Persepsi ini merupakan tantangan kita semua,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tantangan Kebijakan dan Tata Kelola Museum di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (11/10), dalam rangka menyambut Hari Museum Nasional pada 12 Oktober.
Diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan St Prabawa Dwi Putranto (Koordinator Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek) Daud Aris Tanudirjo (Dosen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) dan Erlina Wiyanarti (Dosen Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung) sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Waluyono (Bendahara Umum Asosiasi Museum Indonesia) sebagai penanggap.
Lestari Moerdijat yang akrab disapa Rerie menegaskan, pemahaman sejarah adalah bagian penting dalam proses merawat nilai-nilai kebangsaan yang tidak boleh dilepaskan dari hajat hidup orang banyak.
Keberadaan museum yang baik, jelas Rerie yang juga anggota Komis X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem itu, merupakan bagian dari proses pemaham sejarah yang sangat penting bagi penanaman nilai-nilai kebangsaan setiap warga negara.
Diakui Rerie, carut marutnya tata kelola museum di Indonesia dewasa ini memerlukan kepedulian dan gerak bersama untuk memperbaikinya.
Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah II (Demak, Kudus, Jepara) itu mendorong peningkatan kepedulian para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam proses perbaikan tata kelola museum menjadi lebih baik.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap segera tumbuh gerakan bersama yang merupakan kolaborasi antara kepedulian yang kuat dari masyarakat dan political will pemerintah, dalam mewujudkan pengelolaan museum yang mampu meningkatkan penanaman nilai-nilai kebangsaan pada setiap generasi penerus negeri.
Sedangkan St Prabawa Dwi Putranto mengungkapkan fungsi dari lembaga yang dipimpinnya antara lain meliputi pengelolaan koleksi, pelestarian cagar budaya, dan koleksi benda seni.
Saat ini, ujar Prabawa, pengelolaan museum dan cagar budaya sudah berbentuk badan layanan umum (BLU) untuk meningkatkan kemandirian pengelolaan museum dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Selain itu, jelas Prabawa, keberadaan BLU juga merupakan bagian dari upaya pemerintah memperbaiki tata kelola museum.
Dosen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo mengakui dalam dua dasawarsa terakhir terjadi peningkatan perkembangan yang cukup berarti pada kegiatan permuseuman, sejak diberlakukannya Tahun Kunjungan Museum pada 2010.
Namun, menurut Daud, harus diakui perubahan wajah museum belum dibarengi dengan kebijakan yang memadai.
Permuseuman Indonesia, ujar Daud, kental dengan pengembangan museum secara konvensional, sehingga berpotensi tertinggal dari negara lain.
Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini, tegas Daud, seharusnya lebih mendorong untuk memfasilitasi peningkatan pengelolaan museum.
Diakui Daud, saat ini terdapat sejumlah kelemahan dalam pengelolaan museum antara lain terkait kualitas sumber daya manusia (SDM), kemampuan tata kelola museum serta hubungan museum dan masyarakat yang masih rendah.
Kebijakan yang ada saat ini, tegas Daud, kurang diarahkan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Dosen Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, Erlina Wiyanarti mengatakan museum seharusnya tidak hanya mengupayakan pelestarian benda cagar budaya, tetapi juga sumber pembelajaran bagi masyarakat saat ini dan masa datang.
Pola pengelolaan museum itu, ujar Erlin, harus merespon apa yang diinginkan pengunjungnya. Menurut dia, bentuk BLU dan membangun potensi kewirausahaan dalam pengelolaan museum menjadi energi baru dalam mewujudkan museum yang lebih baik.
Erlin juga mendorong agar museum bisa menjadi sumber belajar bagi generasi muda melalui pemanfaatan platform digital.
Bendahara Umum Asosiasi Museum Indonesia, Waluyono berpendapat dengan dialihkannya sejumlah kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pengelolaan museum dan taman budaya di daerah banyak yang terbengkalai.
Pembentukan BLU dalam pengelolaan museum, menurut Waluyono, merupakan langkah yang tidak tepat.
“Bagaimana dengan tiket Rp5.000 pengelolaannya berbentuk BLU. Ini salah kaprah,” ujarnya.
Perbaikan tata kelola museum, tegas Waluyono, seharusnya melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat yang lebih memahami permasalahan di lapangan.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat mengatakan bila pejabat pengelola museum saat ini setingkat eselon 3, tetapi nilai museum lebih tinggi pasti terjadi ketidaksesuaian.
Jadi, menurut Saur, bila saat ini ada Badan Restorasi Gambut untuk merevitalisasi jutaan hektare lahan gambut, mengapa untuk museum pemerintah tidak membentuk badan serupa yang bertanggung jawab kepada Presiden.
“Kalau kita pandang museum memiliki peran yang penting, harus ada penataan ulang kebijakan pengelolaan museum yang ada saat ini,” pungkasnya.
(*)