Indonesia Harus Lebih Serius Wujudkan Penguatan Pangan Lokal
JAKARTA (24 Juli): Berbagai faktor kerawanan pangan masih mengancam Indonesia. Ancaman perubahan iklim, penyusutan luas lahan pertanian dan sumberdaya petani, hingga kenaikan harga pangan, memberi ancaman pada produktivitas pertanian sekaligus kedaulatan pangan. Karena itu perlu solusi segera demi terwujudnya kedaulatan pangan dan keamanan Indonesia.
Hal itu dikemukakan anggota Komisi IV DPR RI yang juga Ketua Bidang Pertanian, Peternakan dan Kemandirian Desa DPP Partai NasDem, H Sulaeman L Hamzah pada Focus Group Discussion (FGD) Pra-Kongres III NasDem Bidang Pangan bertajuk “Penguatan Kebijakan Pangan: Strategi Adaptasi dalam Menghadapi Perubahan Iklim” di NasDem Tower, Jakarta, Selasa (23/7).
Pernyataan Sulaeman itu merujuk data Bappenas bahwa perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta ton sampai 1,89 juta ton dan lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah terancam kekeringan. Data Global Food Security Index (GFSI) 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113 negara dalam hal ketahanan pangan. Selain itu, Global Hunger Index (GHI) 2023 mencatat tingkat kelaparan Indonesia di posisi kedua tertinggi di Asia Tenggara, yaitu di angka 17,6 dan masuk kategori kelaparan “sedang”.
Sulaeman mengatakan, hingga Maret 2024 rata-rata harga beras premium sudah mencapai Rp16.410 per kilogram (kg), naik 3,2% dibanding bulan sebelumnya serta melonjak 21,3% dibanding tahun lalu. Dalam periode yang sama, rata-rata harga beras medium naik 2,5% (mom) serta melonjak 20,6% (yoy) menjadi Rp14.270 per kg.
“Persoalan pangan ini erat kaitannya dengan kemiskinan, mengingat 75% pengeluaran warga miskin dihabiskan untuk makanan. Jadi, semakin mahal bahan pangan maka jumlah penduduk miskin bisa semakin naik. Ini akan berdampak pada keamanan sosial di Indonesia,” jelas Sulaeman.
Legislator NasDem dari Dapil Papua yang akan kembali duduk di kursi Senayan periode 2024-2029 ini juga mengatakan selain berbagai masalah pertanian dan pangan Indonesia, juga harus dipastikan ketersediaan makanan bergizi untuk seluruh masyarakat. Maka alternatif solusi yang dapat diberikan dan dijalankan adalah penguatan pangan lokal dan diversifikasi pangan.
“Ingat, tanaman pangan berbasis biji-bijian, termasuk padi, adalah yang paling terancam oleh perubahan iklim dan atau pemanasan global. Adapun tanaman umbi-umbian memiliki daya tahan yang lebih baik, dan cocok ditanam di daerah yang kering tanpa banyak hujan,” terang Sulaeman.
Oleh karena itu, tambah Sulaeman, Indonesia harus mulai bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok. Hal ini sebenarnya sejalan dengan ragam kondisi lahan Indonesia yang dapat ditanami berbagai jenis tanaman pangan lainnya.
Legislator NasDem dari Dapil Papua ini juga menuturkan, selama ini keseriusan penanganan ketahanan pangan di Indonesia masih diragukan. Itu tergambar dari alokasi APBN. Sempat naik pada 2021 menjadi Rp104,2 triliun, tetapi kembali menyusut menjadi Rp76,9 triliun pada 2022. Di tahun 2024 ini pemerintah mengalokasikan Rp108,8 triliun atau meningkat 7,8% dibanding tahun 2023, akan tetapi berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) terbaru, pagu indikatif belanja Kementerian Pertanian pada 2025 hanya sebesar Rp8,07 triliun.
“Itu nilainya berkurang sekitar Rp6,7 triliun atau menyusut 45% jika dibandingkan dengan APBN 2024 sebesar Rp14,7 triliun. Ini sangat disesalkan, karena di tengah ancaman krisis pangan, perubahan iklim, rendahnya anggaran pupuk bersubsidi, alih fungsi lahan pertanian dan sebagainya, semestinya anggaran yang ada ditingkatkan bukan justru dikurangi,” tegas Sulaeman.
Dia menambahkan, ketergantungan Indonesia akan impor pangan masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan pangan Indonesia pada 2023 mencapai US$13,8 miliar atau sekitar Rp223,97 triliun. Nilai tersebut jauh lebih besar 5,3% dibandingkan 2022.
“Kita harus ingat, ketergantungan penduduk Indonesia pada beras sangat tinggi dan tren konsumsi gandum pun meningkat. Masyarakat sulit sekali beralih pada sumber-sumber karbohidrat lain karena harganya 2-3 lipat lebih tinggi jika dibandingkan beras,” jelas Sulaeman.
Perlu diketahui, impor terbesar adalah gandum dan meslin yang menembus US$3,68 miliar atau sekitar Rp59,73 triliun disusul gula sekitar Rp 45,05 triliun kemudian beras dan kedelai. Dari sisi kenaikan nilai, beras menjadi komoditas dengan lonjakan terbesar. Indonesia mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023. Jumlah tersebut melesat 613,6% dibandingkan pada 2022 yang tercatat 429.207 ton.
“Oleh karena itu dibutuhkan dukungan anggaran, komitmen bersama dan kebijakan yang tepat dalam rangka menangani dan menanggulangi krisis pangan Indonesia,” tukas Sulaeman.
Ditambahkan, menurunnya Indeks Ketahanan Pangan Indonesia diiringi dengan situasi dan kondisi pangan dunia serta beberapa gejolak perang antarnegara di dunia. Maka jika Indonesia tidak segera mengambil kebijakan pangan yang mengarah kepada kedaulatan pangan lokal, maka kelangkaan pangan akan terjadi.
“Ini akan berakibat kepada kerawanan sosial yang mengancam ketahanan nasional Indonesia ke depan. Semua pihak harus segera membangun kesadaran kolektif dan bergandeng tangan dalam memastikan terwujudnya kedaulatan pangan Indonesia,” tegas Sulaeman.
Data BPS 2024 mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 25,22 juta orang atau 9,03% yang tersebar di penjuru Indonesia. Persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 19,39%. Jika dilihat dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,24 juta orang) sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,94 juta orang). Belum lagi, dengan 281 juta jiwa warga Bangsa Indonesia yang menunggu ketersedian pangan setiap harinya untuk dikonsumsi.
“Melihat kenyataan tersebut, maka jaminan ketersedian pangan yang berkualitas, bergizi, aman, dan terjangkau bagi semua menjadi sangat krusial untuk keamanan dan persatuan sebuah bangsa ke depan. Tentu tujuannya untuk memastikan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud bagi semua sesuai amanat UUD 1945,” pungkas Sulaeman.
(*)