Sikap Masyarakat Indonesia Pluralis, Moderat, dan Akomodatif (Part 2)
Oleh: Habib Mohsen Alhinduan Anggota Dewan Pakar Pusat Partai NasDem
TERBUKTI Negara Indonesia masyarakatnya berideologi berkeTuhanan YME, Pancasilais hidup dalam keberagaman, multikulturalisme, pluralisme, bertoleransi dan washatiyah (moderat).
Salah satu sikap bangsa kita adalah pluralisme selalu dikampanyekan oleh Gus Dur dan istilah itu pengertiannya sangat luas dan memiliki batasan-batasan disesuaikan atau menurut dengan pandangan dan keyakinan masing-masing.
Pluraisme menurut kamus teologi yang ditulis oleh Gerald O’Collins dan Edward Farrugia, adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman.
Di dalam buku pluralisme dan multikultural dalam prasejarah Indonesia, Truman Simanjuntak menjelaskan bahwa pada dasarnya pluralisme memliki makna yang sama dengan multikulturalisme, yakni kemajemukan dan keanekaragaman.
Dengan begitu, pluralisme sangat dekat dengan kehidupan kita, terutama dalam kehidupan sosial.
Terdapat berbagai macam jenis faktor yang memengaruhi puralisme kehidupan sosial di Indonesia, di antaranya kondisi geografis, kondisi alam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya.
Contoh pluralisme di Indonesia, yaitu pertama Pluralisme Agama,
Masyarakat Indonesia memeluk dan menghayati beragam agama dan kepercayaan.
Ada enam agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dengan begitu, pluralisme agama bisa dilihat pada tempat ibadah, tradisi, dan cara ibadah tiap agama yang berbeda-beda.
Berikutnya Pluralisme Budaya. Secara umum, budaya bisa diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan suatu kelompok masyarakat.
Setiap kelompok masyarakat di Indonesia memiliki ciri khas budaya yang dipengaruhi oleh perbedaan geografis dan kondisi alam, serta perbedaan agama atau kepercayaan.
Kemudian Pluralisme Suku Bangsa. Dikutip dari situs Kominfo, berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Perbedaan suku yang ada di Indonesia tentu tidak terlepas dari faktor sejarah nenek moyang Indonesia.
Melihat contoh-contoh di atas, Franz Magnis Suseno dalam bukunya berjudul Kebangsaan Demokrasi Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual berpendapat, pluralisme memiliki salah satu nilai penting, yaitu toleransi.
Toleransi yang dimaksud adalah kesediaan dan kemampuan psikis untuk hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang berbeda suku, adat, bahasa, dan agama.
Toleransi dalam pluralisme diperlukan untuk menghindari konflik dan perpecahan di masyarakat.
Moderasi terhadap keanekaragaman di negara Indonesia yang majemuk ini merupakan tuntutan terutama bagi setiap orang yang beragama dan berkeTuhanan yang Esa, apalagi seorang muslim yang diperintahkan di dalam Al-Quran disebutkan pada ayat Al-Hujaraat 13 yang artinya:
“Wahai umat manusia sesungguhnya kami menciptakan kalian berbeda-beda seperti yang disebutkan dalam ayat di bawah ini”
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
اناجعلناكم امة وسطا
Sesungguhnya kami ciptakan kalian umat yang bersikap washat (moderat) Al Baqarah 2: 143
Bagaimana Sikap Kita?
Sikap kita terhadap perbedaan keyakinan tidaklah menganggap diri kita paling benar menghindari dari perselisihan yang tidak cerdas, menyikapi dengan cara menghindari klaim kebenaran keagamaan eksklusif (exclusivist religious truth claim), klaim bahwa kebenaran dan keselamatan hanya pada dirinya dan kelompoknya saja.
Menghindari sikap semacam ini, menurutnya didasarkan pada Q.S. Al-Baqarah: 111-113
Dan mereka berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.’ Itulah cita-cita mereka. Katakanlah, ‘Bawalah buktimu jika kamu orang yang jujur.’ [Surat Al-Baqarah : 111]
Ya, siapa pun yang menundukkan wajahnya kepada Allah dan menjadi orang yang berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala di sisi Tuhannya, dan tidak ada rasa takut atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani tidak berdasarkan apa pun,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi tidak berdasarkan apa pun,” sambil mereka membaca Kitab Suci katakanlah, maka Allah akan memutuskan di antara mereka pada hari kiamat mengenai apa-apa yang mereka berselisih padanya. AlBaqarah (1): 113)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW sekolompok Yahudi dan Nasrani bertikai di hadapan beliau dan masing-masing meyakini kebenaran dan keselamatan eskatologis hanya pada diri mereka.
Pertikaian ini lalu dilerai oleh beliau dengan mengemukakan wahyu Allah tersebut, yang intinya adalah: (1) Exclusivist Truth Claim ini tidak didasarkan pada kitab suci mereka masing-masing.
(2) yang akan selamat adalah man aslama wajhahulillahi wa-huwa muhsinun (semua orang yang tunduk kepada Allah dengan cara tidak menyekutukannya dengan yang lain dan berbuat baik).
Secara umum, sikap moderat dalam Islam memiliki karakternya sendiri yaitu: tidak saling menyalahkan, tidak merasa paling benar sendiri, serta mau berdialog.
(3) Karakter ini merupakan bukti bahwa perbedaan yang diberikan oleh Allah SWT adalah anugrah.
Disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah keutamaan bagi bangsa Arab atas orang asing (àjam), dan tidaklah juga keutamaan bagi orang àjam (asing) atas orang Arab, atau orang kulit putih atas orang kulit hitam, dan juga orang kulit hitam atas orang kulit putih melainkan dengan ketakwaannya -kepada Allah SWT- semua manusia adalah anak Adam dan Adam sendiri berasal dari tanah. (hadist).
Bagaimana Moderasi Keberagaman Menciptakan Kesatuan dan Persatuan Bangsa
Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya, serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara beragama sekaligus bernegara.
Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.
Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan.
Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya.
Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.
Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antaragama).
Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.
Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.
Tiga Alasan Utama Kita Butuh Moderasi Agama
Mengapa kita perlu moderasi beragama? Apakah moderasi keberagaman agama akan menimbulkan kelompok yang exclusivisme atau inklusivisme? Fanatisme dan menyesatkan kelompok yang lain?
Melihat kondisi keberagaman agama di Indonesia maka dibutuhkan moderasi beragama berdasarkan tiga alasan utama yaitu:
Alasan pertama adalah salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Allah SWT, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan.
Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia.
Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan.
Orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya.
Aksi-aksi eksploitatif atas nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan.
Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.
Alasan kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah.
Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak semuanya lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya.
Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya.
Konteks ini ya menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama.
Alasan yang ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan.
Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya.
Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman.
Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Selain itu juga moderasi beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu, melainkan juga dengan komunitas atau lembaga.
Terbukti Kesamaan nilai moderasi ini pula yang kiranya menjadi energi pendorong terjadinya pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia, Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el-Tayyeb, pada 4 Februari 2019 lalu.
Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen persaudaraan kemanusiaan (Human Fraternity Document), yang di antara pesan utamanya menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (Fanatic Extremism), hasrat saling memusnahkan (Destruction), perang (War), intoleransi (Intolerance), serta rasa benci (Hateful Attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.
Tuduhan Terhadap Gerakan Moderasi, Pluralisme dan Toleransi
Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia.
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.
Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan.
Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan.
Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya.
Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius.
Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.
Bagaimana Menerapkan Moderasi
Moderasi beragama dianggap penting dalam rangka menghadapi realitas budaya hari ini yang beragama serta munculnya gerakan-gerakan ekstremisme dan radikalisme.
penguatan sikap, cara pandang, dan praktik beragama dalam tataran individu, keluarga, berbangsa, dan bernegara.
Pribadi seseorang yang ingin menerapkan moderasi beragama harus moderat terlebih dahulu sebelum mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai moderasi beragama pada orang lain.
Peningkatan kualitas layanan kehidupan beragama. Tujuan agama ialah memberikan kedamaian dan kesejahtreaan serta menjadikan hidup seseorang tenteram dan aman. Oleh karenanya, moderasi beragama harus memperkuat tujuan-tujuan keagamaan itu.
Pengembangan ekonomi dan sumber daya keagamaan. Agama juga perlu terlibat aktif dalam pengembangan sumber daya manusia dan ekonomi para pemeluknya.
Dalam konteks pendidikan Islam, guru hendaknya memiliki ciri-ciri yang menjadi ciri guru yang berintegritas dan moderat.
Di antaranya tidak ekstrem baik kiri maupun kanan, menempatkan agama sebagai jalan hidup, tidak anti dengan perbedaan pandangan, menghindari sikap evaluatif dalam terhadap perbedaan, memandang perbedaan sebagai hal positif, memahami orang lain dan tidak merasa benar sendiri, serta senantiasa menebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Menanamkan dan menumbuhkan didalam diri kita bagaimana cara menghargai perbedaan, meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar, Mengamalkan dan mempraktikkan Nilai-Nilai agama dengan tulus.
Selalu melakukan dan menciptakan dialog, menjaga sikap tenang tidak emosional dan tidak mudah terprovokasi, berusaha memberi dampak positif, bertutur kata dengan bahasa yang santun dan dan sikap yang lemah lembut dan menjaga keterbukaan antar sesama dan berpikir dan berhati besar the Magic of thinking Big.
Demikian ulasan tentang Moderasi Keberagaman dalam menciptakan persatuan dan kesatuan umat.