Alat Kontrasepsi Bagi Pelajar, Solusi atau Masalah?
JAKARTA (16 Agustus): Keputusan Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja menimbulkan berbagai reaksi di tengah masyarakat.
Padahal, kebijakan ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan edukasi dan pelayanan kesehatan reproduksi di kalangan usia muda. Namun, tak sedikit yang menilai kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi yang salah di kalangan remaja tentang hubungan seksual di usia sekolah.
Dokter kandungan sekaligus Pemerhati Kesehatan Reproduksi (Kespro) di Indonesia, dr. Friedrich M Rumintjap, SpOG (K), MARS pun memberikan pandangannya terkait kebijakan ini.
“Banyak jalan menuju Roma, artinya ada banyak cara untuk mencapai tujuan kesehatan reproduksi tanpa harus memberikan alat kontrasepsi secara langsung kepada pelajar,” kata pria yang akrab disapa dr. Frits itu, dalam keterangannya, Jumat (16/8).
Menurutnya, pendidikan seksual yang komprehensif, akses pada layanan kesehatan yang ramah remaja dan dukungan dari orang tua serta komunitas adalah solusi yang lebih berbudaya dan sesuai dengan nilai-nilai bangsa.
Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Bogor itu menambahkan, pendidikan kesehatan reproduksi yang baik harus mencakup informasi lengkap mengenai sistem reproduksi, perilaku seksual yang sehat, dan pencegahan penyakit menular seksual.
“Ini bukan hanya soal memberikan alat kontrasepsi, tetapi juga bagaimana kita mengajarkan kepada remaja tentang tanggung jawab dan konsekuensi dari setiap tindakan mereka,” tegas pemerhati sekaligus dokter spesialis kandungan itu.
Dalam kebijakan ini, pemerintah juga harus mendorong pelibatan orang tua dan komunitas dalam mendukung pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan pelajar. Hal ini dinilai penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan memperkuat nilai-nilai moral di masyarakat.
“Orangtua dan komunitas memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir remaja. Jika pendidikan kesehatan reproduksi dilakukan dengan melibatkan mereka, maka remaja akan lebih memahami risiko dan tanggung jawab yang harus mereka emban,” lanjutnya.
Di sisi lain, dr. Frits juga menyoroti pentingnya memanfaatkan media sosial dan teknologi untuk menyebarkan informasi mengenai kesehatan reproduksi.
“Platform digital bisa menjadi alat yang efektif untuk menjangkau remaja, namun perlu dikelola dengan baik agar informasi yang disampaikan tetap sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut,” ujarnya.
Meski kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, dirinya percaya bahwa dengan pendekatan yang tepat, remaja dapat memahami dan menjalankan kesehatan reproduksi secara efektif tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang ada.
“Yang paling penting adalah bagaimana kita membekali mereka dengan pengetahuan dan dukungan yang tepat,” pungkasnya.
Kebijakan ini sendiri masih dalam tahap implementasi dan pemerintah diharapkan untuk terus memantau serta mengevaluasi dampaknya terhadap generasi muda di Indonesia.
(FF)