Gen Z di NasDem Tower: Kami Antikorupsi
Oleh: T. Taufiqulhadi
Politisi NasDem
PULUHAN remaja tanggung berusia 14 tahun mendatangi NasDem Tower, kantor DPP Partai NasDem, untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan kebangsaan dan bersama-sama menyatakan mengutuk praktik korupsi di Indonesia.
Mereka berdatangan dari berbagai Sekolah Menengah Pertama (SMP) — sebagian kecil kelas satu SMA — dari Jakarta, Bekasi dan Tangerang. Mereka datang berkelompok dan bahkan ada yang naik Grab, seraya menenteng tas lecek dan tersenyum canggung kepada siapa pun yang mendekati mereka.
Terlepas dari suasana belum terbiasa dengan kondisi NasDem Tower yang berlantai 21 dan perpustakaan DPP Partai NasDem di lantai lima yang megah dan resik itu, remaja-remaja tanggung itu sangat tanggap dan selalu siap melayani pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka.
Remaja-remaja yang berkumpul itu tersebut adalah mereka yang terlibat dalam program yang dibuat oleh DPP Partai NasDem yang dikenal dengan “Remaja Bernegara.”
Acara yang digagas Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai NasDem Siti Nurbaya dan dilaksanakan oleh DPP Partai NasDem itu, dimaksudkan untuk memberi pendidikan politik kepada para remaja sehingga mereka menjadi generasi yang lebih mencintai negara dan bangsanya.
DPP Partai NasDem, yang dikoordinasikan Ketua DPP bidang Pemilih Pemula dan Milenial Lathifah Anshori, mengundang mereka secara terbuka secara on line dan berhasil menjaring ribuan peminat dari seluruh Indonesia.
Tapi panitia memutuskan untuk memanggil 30 orang saja setiap hari Sabtu ke NasDem Tower. Sabtu (22/2) kemarin, menjadi hari kedua. Jika hari Sabtu (15/2) pertama lebih didominasi remaja-remaja kelas X (SMA), Sabtu kemarin lebih didominasi oleh remaja-remaja kelas 8 dan 9 (SMP).
Para remaja, dalam kegiatan Remaja Bernegara ini, diposisikan seolah-olah menjadi anggota parlemen. Di antara mereka juga bertindak sebagai kepala daerah dan tokoh masyarakat.
Mereka melakukan simulasi rapat parlemen. Seperti Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri kepala daerah dan masyarakat yang melapor dan berkeluh-kesah. Kemudian dilanjutkan dengan simulasi rapat pleno parlemen.
Yang sangat mengejutkan adalah remaja-remaja yang digolong Gen Z ini — sebuah generasi yang belum pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi sejak lahir dan mereka sering dipandang miring — sangat responsif terhadap lingkungannya.
Mereka datang membawa isu korupsi untuk didiskusikan, dan kelihatan sangat artikulatif ketika membahas isu ini. Misalnya, dalam sesi rap up dan penutup, setelah menyebutkan sejumlah kasus korupsi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus pembungkaman terhadap grup band Sukatani, lantas membalikkan dengan bertanya kepada pengurus DPP NasDem, “Bagaimana sikap NasDem terhadap semua masalah tersebut?”
Kemudian mereka memaparkan juga kondisi eksploitasi anak dan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan di Indonesia, kata salah seorang peserta, belum menjadi posisi yang tepat.
“Sistem (sosial) di Indonesia masih (bersifat) patriarki sehingga para perempuan masih tertinggal dalam semua bidang,” ungkap seorang siswi SMP, yang membuat sejumlah panitia pengarah terlihat manggut-mangggut.
Mengagumkan karena tak terduga, seorang siswa yang selalu semringah, mengingatkan agar efisiensi angggaran tidak berdampak buruk terhadap pendidikan Indonesia. Ia membandingkan dengan Singapura, sebuah negara kecil dengan perhatian terhadap pendidikan sangat tinggi.
“Saya ingin seperti Singapura yang masyarakat berpendidikan sangat baik, Indonesia harus baik pula,” kata siswa SMP ini, tanpa mengurangi senyumannya sedikit pun.
Bahkan ada di antara mereka yang bersikap satir. Dalam sesi serupa, ketika seorang panitia pengarah bertanya, jika mereka menjadi presiden kira-kira mereka akan melakukan apa?
Seorang siswa SMP menjawab. “Saya akan memperpanjang jabatan presiden menjadi lebih lama,” yang spontan disambut gelak-tawa rekan-rekannya dengan meriah.
Tapi rata-rata mereka menjawab, jika mereka menjadi presiden, akan menghukum mati semua koruptor.
(WH)