Sikapi Putusan MK, Irma Suryani Dorong Revisi UU Ketenagakerjaan

JAKARTA (25 Februari): Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, menilai UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan penting untuk direvisi menyusul adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XX1/2023. Putusan itu berdampak besar terhadap penggunaan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, outsourcing hingga waktu istirahat.

Legislator Partai NasDem itu menekankan, DPR prinsipnya merespons positif soal perlu dibentuk dan memisahkan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.

Selain putusan MK, Irma menyebut alasan perlunya revisi UU Ketenagakerjaan karena beleid itu belum pernah diperbaiki sejak awal terbit tahun 2003. Untu itu perlu diubah untuk mengakomodasi berbagai perubahan dan perkembangan ketenagakerjaan.

“Yang harus diperhatikan, tenaga kerja lokal wajib diutamakan dalam semua jenis jabatan, sedangkan tenaga kerja asing boleh diisi (ditempatkan) jika posisi tersebut tidak dapat diisi oleh tenaga kerja lokal,” ujar Irma dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Badan Keahlian DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/2/2025).

Dia menambahkan, tenaga kerja asing perlu mendapatkan perlindungan yang sama seperti tenaga kerja domestik. Selebihnya tenaga kerja domestik harus diutamakan dalam posisi kerja mengacu pada RUU Ketenagakerjaan.

Pemerintah juga perlu menjabarkan tenaga kerja outsourcing, sedangkan pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diwajibkan maksimal lima tahun. Tenaga kerja asing juga diwajibkan berbahasa Indonesia guna meminimalkan penggunaan bahasa asing.

“Upah juga perlu diperhatikan. Jangan sampai ada kecemburuan sosial. Dewan keupahan juga harus dihidupkan kembali. Sedangkan, PHK baru bisa dilakukan jika mendapatkan persetujuan dari lembaga perindustrian yang bersifat mengikat,” tutur Irma.

Sebelumnya, pertimbangan putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 merekomendasikan pembuat UU untuk membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru. Membacakan pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menguraikan beberapa poin penting.

Antara lain, secara faktual, materi/substansi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berulang kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke MK. Merujuk data pengujian UU di MK, sebagian materi/substansi UU 13/2003 telah 37 kali diuji konstitusionalitasnya.

Dalam putusan berjumlah 687 halaman tersebut, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari UU 6/2023. Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Mahkamah menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomro 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja. Terutama terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah (baik berupa pasal dan ayat) sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan. (dpr.go.id/*)

Add Comment