Saan Mustopa: KAHMI Harus Mampu Berikan Solusi bagi Persoalan Bangsa
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (24 Maret): Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menegaskan perlunya pendekatan akademik dan praktis dalam merancang perubahan sistem pemilu agar tidak sekadar menjadi wacana.
Hal itu disampaikan Saan dalam diskusi Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Minggu (23/3/2025).
Legislator Partai NasDem dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VII (Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta) itu mengungkapkan pentingnya konsolidasi sumber daya intelektual guna menghadapi tantangan politik dan demokrasi di Indonesia.
“Kami ingin memastikan pemikiran intelektual yang kami miliki tidak hanya menjadi wacana, tetapi mampu mempengaruhi kebijakan dan perubahan sistem yang lebih baik,” ujar Saan.
KAHMI memiliki kekuatan besar karena beranggotakan akademisi, guru besar, serta aktivis yang memahami dinamika sosial dan politik secara langsung. Salah satu isu utama yang dibahas dalam forum tersebut ialah kompleksitas regulasi pemilu yang terus berkembang.
Dari awalnya lima paket undang-undang politik, kini sistem pemilu di Indonesia telah memiliki 16 regulasi yang mencakup pemilu legislatif, presiden, dan pilkada.
“Dulu kita mengenal lima paket undang-undang politik yang kemudian berkembang menjadi 16 regulasi terkait pemilu, pilpres, dan pilkada. Sekarang, muncul berbagai tantangan baru, termasuk wacana presidential threshold 0% dan aturan yang membatasi anggota legislatif mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ini perlu kita kaji secara akademik dan praktis,” ungkap Saan.
Menurutnya, perdebatan mengenai presidential threshold 0% serta aturan pencalonan anggota legislatif sebagai kepala daerah yang perlu dikaji lebih mendalam. Di sisi lain, sistem pemilu serentak yang bertujuan memperkuat presidensialisme dinilai belum sepenuhnya efektif.
“Kita melihat dalam dua pemilu terakhir, penyatuan pileg dan pilpres tidak serta-merta menciptakan sistem yang lebih efektif. Justru ada tantangan baru yang muncul dalam relasi antara eksekutif dan legislatif,” tambahnya.
Saan mencermati bahwa dalam dua pemilu terakhir, penyatuan pemilu legislatif dan presiden tidak serta-merta menghasilkan stabilitas politik, melainkan menghadirkan tantangan baru dalam hubungan eksekutif dan legislatif.
Sebagai organisasi yang mewadahi pemikiran strategis, KAHMI berkomitmen untuk berkontribusi dalam pembentukan kebijakan publik berbasis kajian akademik.
“Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berdaya, kita harus hadir dengan gagasan alternatif yang tidak hanya berbasis pada idealisme, tetapi juga realitas politik dan kebutuhan masyarakat,” paparnya.
Saan menegaskan, KAHMI bukan sekadar organisasi alumni, melainkan ruang bagi intelektual dan aktivis untuk merumuskan solusi konkret bagi persoalan bangsa.
Ke depan, KAHMI akan mengintensifkan kajian terkait sistem kepemiluan serta mendorong konsolidasi pemikiran dari berbagai kalangan akademisi dan aktivis.
Langkah itu diharapkan dapat memastikan bahwa kebijakan politik yang lahir benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek.
“Kita harus memastikan bahwa dalam lima tahun ke depan, kebijakan politik yang lahir mencerminkan kepentingan rakyat dan tidak hanya menjadi rekayasa politik sesaat,” pungkasnya.
(Safa/*)