Dorong Penguatan Kerja Sama dan Strategi Tepat Hadapi Kebijakan Tarif AS
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (16 April): Dorong penguatan kerja sama dengan strategi yang tepat dalam menghadapi sejumlah tantangan yang muncul akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS).
“Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mengubah tantangan menjadi momentum untuk memperkuat posisi di panggung perdagangan global yang terus berubah saat ini,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan pada diskusi daring bertema Dampak ‘Trump Reciprocal Tariffs’ terhadap Ketahanan dan Daya Saing Ekonomi Indonesia di Era Perdagangan Global yang Berubah, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (16/4/2025).
Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Dyah Roro Esti Widya Putri (Wakil Menteri Perdagangan RI), Badri Munir Sukoco (Direktur Pascasarjana Universitas Airlangga), dan Tarli Nugroho (Direktur Riset dan Pemikiran Institut Peradaban) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Martin Manurung (anggota Komisi XI DPR RI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, ketergantungan pada pasar AS membuat Indonesia rentan terhadap guncangan perdagangan.
Maka, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, diperlukan transformasi ekonomi dari ekspor komoditas mentah ke produk lainnya.
Menurut Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, arah pembangunan nasional, khususnya ekonomi, harus berorientasi pada penciptaan kesempatan kerja demi mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Oleh karena itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, pendekatan distribusi kesejahteraan, distribusi manfaat untuk seluas-luasnya kemakmuran rakyat harus diterapkan.
“Kita harus bersama-sama bekerja keras dengan strategi yang tepat untuk menghadapi sejumlah tantangan yang kita hadapi ini,” pungkas Rerie.
Dyah Roro Esti Widya Putri mengungkapkan, kebijakan reciprocal tariffs yang diterapkan AS menimbulkan ketegangan pada perekonomian global dan antara lain berdampak pada distribusi rantai pasok.
Diakui Dyah, tarif yang diberlakukan terhadap Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia dan Singapura. Kondisi itu, tambah dia, harus menjadi perhatian.
Menurut Dyah, saat ini pemerintah AS menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari dan selama masa penundaan itu tarif yang berlaku bagi Indonesia 10%.
Dyah berharap ada waktu bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat terkait kesepakatan tarif tersebut.
Pemerintah, ujar Dyah, akan memperkuat upaya diplomasi dan aliansi regional dalam menyikapi kebijakan AS.
Selain itu, tambah Dyah, pemerintah Indonesia juga terus berupaya membangun diversifikasi pasar baru melalui kerja sama antarnegara dan kawasan.
Badri Munir Sukoco berpendapat bahwa dampak perang dagang antara Tiongkok dan AS akan menguntungkan ASEAN.
Namun, jelas Badri, negara ASEAN yang lebih banyak diuntungkan pada kondisi saat ini adalah Vietnam.
Dalam hal ini, ujar dia, Indonesia belum mampu bersaing dan produk ekspornya baru seputar minyak, gas, dan CPO.
Badri menyarankan, Indonesia harus serius memanfaatkan pasar domestik. “Indonesia punya pasar yang luar biasa besar,” ujarnya.
Pasar alat kesehatan dan obat-obatan misalnya, tambah dia, harus mampu dipenuhi oleh produk dalam negeri.
Menurut Badri, langkah menciptakan enterpreneur muda agar mampu menghasilkan sejumlah produk subtitusi barang-barang impor, merupakan langkah yang strategis.
Diharapkan, tegas Badri, kemandirian dalam menghasilkan produk dapat membuka lapangan kerja baru yang sangat dibutuhkan.
Tarli Nugroho berpendapat, saat ini kondisi perekonomian tidak ideal. Sejak pandemi hingga perang dagang, ujar Tarli, dunia usaha kita belum pulih.
Menurut Tarli, perang dagang yang terjadi saat ini berpotensi melahirkan aliansi baru yang bisa menguntungkan atau merugikan kita.
Bagi ekonomi Indonesia, tambah dia, perang tarif yang terjadi saat ini jelas mengganggu ekspor. Di sisi lain, jelas Tarli, Indonesia juga berpotensi menjadi pasar produk Tiongkok yang sedang berperang dagang dengan AS.
Menurut Tarli, langkah pemerintah menghindari langkah konfrontasi dalam perang dagang saat ini sudah tepat. Upaya negosiasi penting untuk dilakukan.
“Politik bebas aktif harus terus dijaga. Kerja sama dan negosiasi adalah kata kunci untuk mengatasi sejumlah dampak perang dagang yang terjadi saat ini,” tegas Tarli.
Martin Manurung berpendapat, suka atau tidak suka, kebijakan yang diambil Trump akan berdampak juga pada pasar domestik mereka.
“Di era perdagangan global saat ini tidak ada satu pun negara yang untung sendirian,” ujar Martin.
Martin mendorong agar Indonesia memanfaatkan kerja sama perdagangan antar-negara dan regional dengan baik.
Selain itu, ujar Martin, bagaimana sejumlah program unggulan pemerintah dapat dimaksimalkan manfaatnya.
Sebagai misal, tambah dia, program makan bergizi gratis (MBG) harus melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Sehingga, tegas Martin, program MBG menghasilkan multiplier effect yang lebih besar bagi masyarakat luas.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam perang dagang antara AS dan Tuongkok, terlihat Negeri Tirai Bambu itu lebih siap dengan sejumlah strategi yang diterapkannya.
Selain itu, Saur mengingatkan, dalam menyikapi perang dagang yang terjadi jangan sampai mengambil kebijakan yang terlalu ekstrem, karena sejatinya ekspor Indonesia ke AS hanya 10%.
Penghapusan batasan persyaratan kandungan lokal produk tertentu, ujar Saur, berpotensi mematikan industri dalam negeri yang sangat penting bagi keberlanjutan produk lokal. (*)