Politik, Seni Mengelola Masalah Secara Salah
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Habib Dr. Mohsen Hasan Alhinduan
(Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem)
SAYA ingin mengutip pernyataan satir dari seorang jurnalis dan komedian asal Amerika Serikat, Groucho Marx (1890–1977). Ia dikenal sebagai komedian, aktor, penulis, dan penyanyi yang tampil di film, panggung, radio, dan televisi.
Marx dikenal dengan kritik tajamnya terhadap dunia politik, salah satunya seperti ini, “Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara keliru, dan menerapkan solusi yang salah.”
Kutipan ini terdengar lucu, tapi menyimpan kebenaran yang menyedihkan. Marx menggambarkan politik sebagai panggung sandiwara, bukan sebagai alat untuk mencapai kebaikan bersama.
Dalam pandangannya, politisi bukanlah penyembuh masalah masyarakat, tetapi dalang yang menciptakan masalah agar bisa menjual “obat” yang salah.
Ironinya, masalah-masalah nyata sering kali diputarbalikkan atau dikecilkan agar cocok dengan narasi yang menguntungkan penguasa.
Rakyat sering dibuai dengan slogan-slogan perubahan, padahal yang berubah hanya wajah para pemainnya, sedangkan sistemnya tetap sama.
Solusi yang ditawarkan pun bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam situasi ini, “pengobatan yang salah” justru menjadi strategi: rakyat dibuat tetap ‘sakit’, agar tetap bisa dikendalikan.
Melalui gaya humornya, Marx sesungguhnya sedang menyampaikan keresahan: bagaimana penderitaan dijadikan alat dagang, dan bagaimana politik kehilangan nilai ketika dijalankan tanpa moral dan kebenaran.
Di dunia yang demikian, berpikir kritis dan tetap berani mengkritik adalah bentuk perlawanan. Kadang, satu-satunya cara bertahan adalah dengan tertawa getir seperti yang boasa dilakukan Groucho Marx.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat wajah politik yang dikritik Marx itu ada dalam berbagai kasus di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hukum sering kali dipermainkan. Para pelaku pelanggaran hukum bahkan tampil tanpa rasa malu. Mereka tersenyum sinis di hadapan publik, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Banyak dari mereka masih mengklaim mewakili rakyat, padahal perilakunya bertentangan dengan etika dan moral. Di tengah krisis moral seperti ini, yang berkuasa bukan lagi nurani, melainkan kehendak politik (political will) dari para pengambil kebijakan yang sudah bersekongkol satu sama lain.
Memperjuangkan keadilan dalam situasi seperti ini tentu sangat sulit, karena lawan yang dihadapi adalah konspirasi kekuasaan itu sendiri. Namun perlu diingat, segala strategi dan kekuasaan ada batasnya. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Pada akhirnya, kebenaran akan tercatat, dan generasi penerus akan membaca serta menilai apa yang terjadi hari ini.
Krisis yang kita alami hari ini bukan hanya krisis hukum atau ekonomi, melainkan krisis mental dan kemanusiaan. Ini adalah bencana yang harus segera diatasi jika kita ingin tetap menjadi bangsa yang bermartabat dan beriman.
Rasa empati adalah kunci untuk memulihkan nilai kemanusiaan. Kemampuan merasakan penderitaan orang lain adalah tanda bahwa kita masih memiliki hati nurani.
Seorang pemikir berkebangsaan Iran yang bercokol di Inggris Ali Syariati mengajarkan kepada kita bahwa empati adalah ciri utama manusia yang mulia, karena melalui empati, kita mampu memahami, peduli, dan membantu sesama.
Itulah yang membedakan manusia dari sekadar “hidup” menjadi benar-benar “manusia.”
Ia menambahkan pendapatnya bahwa manusia memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kebaikan dan kesucian (roh Tuhan) dan dimensi keburukan dan kehinaan (tanah lumpur).
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, memiliki martabat tinggi, dan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia juga dipandang sebagai pusat kehidupan dan wakil Tuhan di bumi.
Dengan demikian, pandangan Ali Syariati tentang manusia mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara dimensi kebaikan dan keburukan dalam diri manusia, serta tanggung jawab manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sementara politik, menurut Syariati adalah pemerintah/sistem pemerintahan yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya sebagai tugas administrasi negara.
Salam Wankar (Dewan Pakar)
(WH/GN)